KABARPESANTREN.ID—Zina dalam perspektif fiqh adalah hubungan seksual yang dilakukan di luar ikatan pernikahan yang sah. Memasukkan alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan. Minimal sampai hasyafah.
Tentang zina, Syekh Sayyid al-Bakriy, menyebutnya dengan akbaru al-kabair—dosa terbesar dari dosa-dosa besar. Terbagi dalam dua bagian: Zina muhshan dan zina ghairu muhshan. Secara terminologis keduanya jelas berbeda.
Zina muhshan adalah zina yang yang dilakukan oleh orang yang pernah wathi`—berhubungan seksual—dalam pernikahan yang sah. Intinya, dalam pernikahan tersebut terjadi hubungan seksual.
Perlu dicatat, sekalipun si pezina sudah bercerai, tetapi pernah berhubungan seksual dalam pernikahannya yang sah, apabila kemudian berzina, masuk kategori muhshan.
Sementara itu, sebaliknya, zina ghairu muhshan adalah zina yang dilakukan oleh orang yang tidak pernah melakukan hubungan seksual, sekalipun ia pernah melangsungkan pernikahan yang sah.
Semisal, seseorang menikah, tetapi dalam pernikahan tersebut tidak terjadi hubungan seksual. Jika kemudian ia berzina maka zinanya masuk dalam kategori zina ghairu muhshan. Dua kategori zina tersebut, konsekuensi hukumnya berbeda.
Dalam perspektif hukum Islam, hukuman untuk pezina muhshan adalah dirajam, yakni dilempari batu sampai menemui ajal. Apabila sedang hamil, hukuman rajamnya ditunda sampai melahirkan dan selesai menyusui.
Selanjutnya, hukuman untuk pezina ghairu muhshan adalah dengan didera sebanyak 100 kali dan diasingkan dari daerahnya sejarak masafatu qashrin, yakni 2 marhalah, berjarak 90 km lebih—apabila setelah didera si pezina masih hidup.
Syarat jatuhnya hukuman tersebut adalah adanya 4 saksi yang melihat secara langsung praktik zina tersebut atau adanya qarinah—indikator terjadinya perzinahan—semisal hamil. Pembahasan tentang ini perlu ruang khusus dan spesifik.
Terlepas dari semua, Islam tidaklah kejam. Formulasi hukum dalam Islam telah mengatur semuanya. Sarat dengan rasa keadilan dan kemanusiaan. Semata-mata untuk menata kehidupan manusia yang baik dan beradab.
Salah satu dari maqashid al-syar’iyyah, tujuan ditegakkannya hukum syariah, adalah hifdh al-nasb—terjaganya keturunan. Karenanya, pernikahan disyariatkan untuk memenuhi kebutuhan biologis dan memperoleh keturunan.
Apabila pernikahan telah diatur sedemikan detail dalam formulasi hukum Islam, tetapi tetap saja berzina, dalam pandangan manusia tampak hina, di sisi Allah amatlah nista. (KPN/Kiki Musthafa)