KABARPESANTREN.ID—Salat menjadi kunci bagi amal saleh lainnya. Jika salat seseorang bagus. Amal saleh yang ia lakukan sebelum dan sesudahnya, tergaransi bagus. Salat yang syarat dan rukunnya terpenuhi. Salah yang diterima. Alasannya sederhana: Inna al-salata tanha ‘an al-fakhsyai wa al-munkari—sesungguhnya salat itu dapat menahan seseorang dari berbuat hal buruk dan munkar. Peran dari semua amal saleh adalah menghindari fakhsya dan munkar. Salat disinyalir sebagai kuncinya.
Alasan logis berikutnya adalah sebuah hadis yang amat populer: Al-salatu imadu al-din—salat itu tiangnya agama. Mengidentifikasi salat sebagai tiang bagi agama amatlah relevan. Tiang identik dengan penyangga. Tanpanya, semua yang disangga akan oleng bahkan runtuh. Sementara al-din, yakni agama, identik dengan nilai-nilai baik yang mengatur semua aktivitas kehidupan manusia agar selamat, dunia dan akhirat. Normatifnya demikian.
Karenanya, mereka yang salatnya bagus, tiangnya kokoh dan kuat. Tiang yang kokoh dan kuat tersebut secara langsung berimplikasi pada terselamatkannya nilai-nilai baik yang diamalkan sesuai tuntunan agama—dalam hal ini, tentu adalah terkait semua yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Nilai-nilai baik yang terselamatkan itu merujuk pada amal saleh seseorang. Membuat hidupnya terjamin mudah dan senantiasa terbahagiakan.
Akan tetapi, garansi di atas, hanya berlaku bagi mereka yang salatnya baik. Artinya, setelah syarat dan rukunnya terpenuhi sempurna, salat yang dilakukannya harus menjadi komando untuk terlaksananya interaksi yang baik dengan sesamanya. Melalui salat yang baik, seseorang mendapatkan kesalehan spiritual yang menjadi bekal baginya untuk menumbuhkan kesalehan sosial di lingkungan masyarakatnya. Salatnya baik, akhlaknya bagus.
Sebaliknya, mereka yang salatnya rusak—karena syarat dan rukunya tidak terpenuhi dan faktor lainnya, seperti meremehkan dan meninggalkan salat—akan berimbas rusak pula pada tindak-tanduk dan ucapannya. Salatnya tertolak. Tentang ini, tertolaknya salat seseorang, tercermin pula dari apa yang disampaikan Rasulullah Saw dalam sebuah hadis. Dalam hadis termaksud, terdapat sepuluh kelompok yang salatnya tidak diterima oleh Allah.
Pertama, rajulun shalla wahidan bighairi qira`atin—seseorang yang salat secara munfarid, sendirian, dengan tanpa membaca surat al-Fatihah. Perihal salat yang munfarid, sendirian, disampaikan untuk memberikan atensi khusus perihal pentingnya salat berjamaah. Jauh lebih berlipat pahalanya, dibanding salat sendirian. Terlebih banyak fadilah, keutamaan, yang bisa diperoleh dari salat secara berjamaah, seperti, pahala i’tikaf di masjid, silaturahmi, semangat ukhuwah dst.
Selanjutnya, tentang surat al-Fatihah. Menurut jumhur ulama, khususnya mazhab Syafi’iyah, bersepakat bahwa membaca surat al-Fatihah merupakan ruknun min arkani al-shalati, rukun dari beberapa rukun salat. Jika tertinggal maka salatnya tidak sah. Terlebih dalam sebuah hadis Rasulullah Saw tersampaikan: La shalata liman lam yaqra` bifatihati al-kitabi—tidak sah salatnya seseorang yang tanpa membaca surat al-Fatihah.
Kedua, wa rajulun yushalli wa la yu`di zakatahu—seseorang yang salat, tetapi tidak mengeluarkan zakatnya. Di banyak ayat al-Quran, perintah mendirikan salat selalu dilanjut dengan perintah mengeluarkan zakat. Redaksi ayatnya, selalu seperti ini: Aqamu al-shalata wa atau` al-zakata—dirikanlah salat dan keluarkanlah zakat. Hal ini mengindikasikan bahwa salat yang tanpa mengeluarkan zakat adalah salat yang sia-sia. Salat yang berpotensi ditolak oleh Allah.
Salat ditutup dengan mengucapkan salam yang esensinya adalah penyampaian doa keselamatan untuk orang lain. Zakat, salah satunya, adalah ekspresi dari menggerakkan doa keselamatan tersebut dalam bentuk yang konkret: Berbagi kepada mustahiq—yang berhak menerima zakat—untuk menyelamatkannya dari kekurangan. Karenanya, salat yang tanpa disertai dengan mengeluarkan zakat adalah salat yang tidak tersempurnakan dan tertolak.
Ketiga, wa rajulun ya`ummu qauman wa hum lahu karihun—seseorang yang bermakmum kepada satu kelompok, sementara kelompok tersebut membencinya. Ketika pertama kali mengangkat kedua tangan untuk takbiratul ihram, semua tentang hubungan buruk dengan manusia harus dihilangkan. Salat yang bersih dari penyakit hati, dendam, amarah dan kebencian. Karenanya, kepada siapa pun seseorang bermakmum atau sebaliknya, perasaan tak suka, harus dienyahkan.
Salat adalah momentum di mana seorang hamba berhadapan langsung dengan Allah. Jika kemudian, saat salat berlangsung, hati dan pikirannya berpaling dari Allah dengan mengambil fokus lain terkait dengan urusan dunia. Jelaslah, hal demikian, membuat salat seseorang menjadi berantakan. Apalagi jika kemudian yang tertanam di hati saat salat adalah tentang ketaksukaan pada orang lain yang terlibat secara bersama-sama dalam salat tersebut. Salatnya ditolak oleh Allah.
Keempat, wa rajulun mamlukun abiqun—seorang budak yang kabur dari tuannya. Dalam konteks hari ini, mamlukun abiqun tak lagi ada. Konsepsi perbudakan dalam Islam telah dihapus sejak ajaran Islam tersempurnakan di masa Rasulullah Saw. Dahulu, ketika tradisi perbudakan masih berlaku, seorang budak, hamba sahaya, seluruhnya adalah hak tuannya. Ia tidak boleh berbuat apa pun tanpa seizin tuannya. Jika ia kabur, dahulu, salatnya ditolak oleh Allah.
Masih tersisa enam kelompok lagi yang harus tersampaikan. Akan kita ulas di tulisan minggu depan. Perihal orang-orang yang salatnya tertolak dan semoga menjadi cermin bagi pembaca. Jangan-jangan kita adalah salah satunya. Bagian dari orang-orang yang salatnya rapi, tetapi tak pernah tercatat sebagai ibadah yang menentukan baik-buruknya amalan yang lain. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. (KPN/Q2)
*Dimuat ulang dari tulisan H. Kiki Syukri Musthafa, M.Ag., di Buletin Masjid Agung Kota Tasikmalaya.