Muludan dan Kebahagiaan

istockphoto.com

KABARPESANTREN.ID—Sebuah ayat dalam Al-Qur`an mengonfirmasi perintah untuk berbahagia tersebab dua hal. Pertama, karena ilmu dari Allah. Kedua, karena Rasulullah Saw. Perintah ini terarsip dalam QS. Yunus: 58, yakni Qul bifadlillahi wa birahmatihi fabidzalika falyafrahu, huwa khairun mimma yajma’un—katakanlah (Muhammad) dengan karunia Allah dan rahmat-Nya hendaknya dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.

Pertama, tentang fadllullah, karunia dari Allah. Dalam beberapa literatur tafsir, para mufassir sepakat bahwa yang dimaksudkan fadllullah dalam QS. Yunus: 58 merujuk kepada ilmu. Semisal, Al-Alusi dalam Ruh al-Ma’ani menjelaskan dengan redaksi annal fadla al-‘ilmu—sesungguhnya kata fadla adalah ilmu. Dengan demikian, karunia Allah yang paling besar, selain iman, tentulah merujuk pada ilmu.

Bacaan Lainnya

Karenanya, semua tentang ilmu Allah harus direspon dengan gembira. Ilmu adalah sumber kebahagiaan. Mencari ilmu, bisa jadi tidak melulu membahagiakan. Membutuhkan perjuangan yang berat, konsistensi dan waktu yang tak sebentar. Namun, mereka yang berjuang di jalan ilmu, senantiasa menemui ujung yang membahagiakan. Dalam banyak hal. Ilmu adalah kunci. Dengan ilmu, semua tentang kebahagiaan dapat teraih sempurna.

Dalam hadis yang cukup populer, Rasulullah Saw bersabda: Man arada al-dunya fa’alaihi bi al-‘ilmi, wa man arada al-akhirata fa’alaihi bi al-‘ilmi, wa man aradahuma fa’alaihi bi al-‘ilmi—barang siapa yang menginginkan kehidupan dunia maka dengan ilmu, barang siapa pula menginginkan kehidupan akhirat maka dengan ilmu, barang siapa menginginkan keduanya maka dengan ilmu. Hadis ini mengafirmasi bahwa tanpa ilmu, tidak akan mendapatkan apa pun.

Seseorang yang hidup dengan ilmu. Memiliki banyak perspektif dalam memandang dinamika kehidupan dunia yang rumit dan kompleks. Ada banyak jendela yang bisa ia buka. Bervariasi langkah yang bisa ia ayunkan untuk sampai pada tujuan. Gagal di satu jalan. Beralih pada jalan lainnya yang memungkinkan. Jatuh di satu kelokan. Mencari akses lain yang membuatnya dapat tetap bertahan. Ilmu yang membuatnya sampai pada apa yang ia inginkan.

Benar adanya, dahulu Rasulullah Saw menyampaikan hadis tentang perintah mencari ilmu yang merupakan sebuah kewajiban—thalabu al’ilmi faridlatun ‘ala kulli muslimina wa al-muslimati. Kewajiban mencari ilmu yang tercatat dalam redaksi hadis tersebut, semata-mata agar manusia mendapatkan kebahagiaan, baik di dunia, tentu saja di akhirat. Semua tersebab ilmu. Mencari ilmu sama hal dengan mencari jalan menuju bahagia.

Kedua, tentang rahmat dari Allah. Frasa birahmatihi dalam QS. Yunus: 58, seperti halnya diungkap dalam beberapa literatur tafsir, merujuk kepada Rasulullah Saw. Ayat ini memiliki munasabah dengan QS. al-Anbiya: 107, yakni wa ma arsalnaka illa rahmatan li al-‘alamina—dan tidaklah kami mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam. Ayat yang secara langsung mengabarkan bahwa Rasulullah Saw adalah rahmat bagi semesta.

Pernyataan yang termaktub dalam QS. al-Anbiya: 107, menjadi salah satu sandaran para mufassir dalam menafsirkan birahmatihi di QS. Yunus: 58 dengan konklusi tafsir yang merujuk kepada Rasulullah Saw. Secara personal, Rasulullah Saw adalah pribadi terbaik yang tindak-tanduknya adalah cinta dan kasih sayang. Uswah hasanah yang menjadi pijak moral bagi siapa pun yang sedang berproses menjadi manusia terbaik—di hadapan manusia dan di hadapan Allah.

Ajaran-ajaran yang Rasulullah Saw sampaikan, kerap kali menempatkan manusia sebagai objek untuk mengekspresikan cinta dan menebarkan kasih sayang, lalu mengorientasikan interaksi sosialnya hanya kepada Allah. Hubungan dengan manusia diikhtiarkan berlangsung sebaik mungkin, sebagai bagian dari mengaktualisasikan perintah beribadah kepada Allah. Tak ada satu pun ajaran Islam yang mengesampingkan nilai-nilai luhur tentang tauhid dan kemanusiaan.

Sandaran lainnya yang menjadi argumentasi pokok mufassir dalam mengidentifikasi birahmatihi merujuk pada Rasulullah Saw adalah hadis yang berbunyi: Inna Allaha ba’atsani rahmatan wa mahdatan. Sabda Rasulullah Saw: Sesungguhnya Allah mengutusku sebagai rahmat yang dihadiahkan (untuk umat manusia). Pernyataan Rasulullah Saw dalam hadis tersebut, ikut mengafirmasi bahwa frasa birahmatihi pada QS. Yunus: 58 adalah Rasulullah Saw.

Tersebab ilmu, manusia menjadi tahu cara beramal baik dan meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Tersebab hadirnya Rasulullah Saw., manusia menjadi paham cara mengekspresikan iman, mengamalkan ilmu dan mengorientasikan hidup hanya untuk beribadah kepada Allah. Karenanya, falyafrahu, ilmu yang Allah anugrahkan dan Rasulullah Saw yang Allah hadiahkan, harus disyukuri dengan seluas-luasnya kebahagiaan.

Muludan yang berasal dari kata maulid dan merujuk pada hari lahir Rasulullah Saw adalah bagian dari perayaan kebahagiaan karena hadirnya Rasulullah Saw. Menjadi penerang umat. Menjadi penjamin dan pemberi syafaat. Lupakan semua kesedihan. Apa pun itu. Bulan ini, kita muludan bersama-sama. Kita bahagia bareng-bareng. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. (KPN/Kiki Musthafa/Buletin Masjid Agung Kota Tasikmalaya)