KABARPESANTREN.ID—Banyak yang membahas tentang ini. Mulai dari ulama hingga motivator. Kesimpulannya sama. Umur 40 tahun adalah penentuan. Amat menentukan dan krusial untuk perjalanan seseorang setelah melewatinya. Dilarang main-main di angka itu. Harus lebih dari sebatas serius. Sesuatu hal yang dicapai di angka tersebut. Menjadi cermin untuk kuantitas dan kualitas pencapaian di masa-masa setelahnya. Baik tentang perkara duniawi, apalagi, urusan akhirat yang mengabadi.
Salah satu indikator paling kuat yang diajarkan sejarah tentang 40 tahun ini adalah diangkatnya Nabi Muhammad Saw sebagai Nabi dan Rasul pada umur 40 tahun. Angka yang krusial bagi Nabi. Di tahun itulah Nabi pertama kali menerima wahyu. Diperintahkan untuk membaca. Menganalisis. Melihat peluang. Menimbang kemungkinan-kemungkinan. Agar dakwah berjalan baik. Agar Islam dapat di terima penduduk Mekkah yang masih menyembah berhala.
Tersebab begitu krusialnya umur 40 tahun, Al-Qur`an memberikan navigasi khusus agar manusia tidak tersesat ketika sampai di angka tersebut. Dengan amat bernas, QS. al-Ahqaf: 15 menyampaikan beberapa hal yang harus terjaga dan tertunaikan: … Hatta idza balagha asyuddahu wa balagha arba’ina sanatan qala Rabbi auzi’ni an asykura ni’matakal-lati an’amta ‘alayya wa ‘ala wa lidayya wa an a’mala shalihan tardlahu wa ashlihli fi dzurriyyati inni tubtu ilaika wa inni minal-muslimin.
Beberapa hal yang harus diperhatikan ketika sampai pada usia 40 tahun. Pertama, an-asykura ni’matal-lati an-‘amta alayya, tentang harus menjadi orang-orang yang bersyukur. Mental bersyukur harus terbangun kokoh di umur 40 tahun. Ada kesadaran penuh bahwa semua yang Allah berikan, semata-mata hanya sebatas titipan yang harus digunakan untuk menyempurnakan setiap amal saleh. Sejatinya, demikianlah syukur, menggunakan nikmat dari Allah untuk beribadah.
Kedua, wa ‘ala walidayya, berbuat baik kepada orang tua. Di umur 40 tahun, seseorang yang masih berhubungan buruk dengan orang tuanya, akan menghadapi beragam kesulitan. Jika ada masalah yang belum selesai, selesaikan dan meminta maaf kepada orang tua. Jika belum berbakti, tunaikan bakti itu dengan sepenuh cinta yang kita punya. Jika sudah berusaha, lebihkan ikhtiar untuk senantiasa membuat mereka bahagia dan baik-baik saja—lahir dan batinnya.
Ketiga, wa an a’mala shalihan tardlahu, memiliki komitmen yang kuat untuk senantiasa beramal saleh—dalam banyak hal. Semua aktivitas yang dilakukan sehari-sehari, dapat menjadi ladang amal yang luas yang Allah ridha pada amal saleh tersebut. Syaratnya, niati dengan baik sebagai mekanisme ibadah kepada Allah. Lakukan dengan cara terbaik yang tidak melanggar aturan Syara’, yakni Allah dan Rasul-Nya. Tujuannya pun jelas hanya untuk mendapatkan ridla Allah semata. Umur 40 tahun, semua harus bernilai ibadah.
Keempat, wa ashlil li fi dzurriyyati, meminta kepada Allah agar mendapatkan keturunan yang saleh. Tentu, dengan ikhtiar yang total. Fokus mendidik anak agar tidak menjadi orang yang membangkang dan bermaksiat kepada Allah. Membimbing dan mengajarinya hal-hal baik. Menuntunnya untuk selalu berada di jalan Allah. Menjadi bagian dari hamba-hamba-Nya yang taat, sabar dan penuh rasa syukur. Selamat-tidaknya seseorang di hadapan Allah kelak, salah satunya, tergantung saleh atau tidak keturunannya.
Kelima, inni tubtu ilaika wa inni minal-muslimin, segera bertaubat dan menjadi muslim yang kaffah. Sampainya umur pada 40 tahun, disertai perintah untuk menyegerakan taubat. Jangan ditunda-tunda. Taubat bukan penyesalan sesaat lalu kembali berbuat. Harus total. Tentu, disertai dengan upaya keras untuk menjadi muslim yang sempurna: Iman dan amal salehnya. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. (KPN/Kiki Musthafa)