KABARPESANTREN.ID–Mari lihat mereka yang sedang diuji sakit oleh Allah. Tubuhnya yang kuat, menjadi begitu lemah. Mobilitasnya yang gesit, menjadi tertahan dan terbatasi. Tak banyak yang dapat dilakukannya. Hari-harinya adalah doa dan ikhtiar yang tak habis untuk kembali sembuh. Sekalipun pada hakikatnya sakit adalah nikmat—karena menjadi penawar bagi semua dosa selagi direspon dengan sabar—tetap saja, sakit selalu menyakitkan.
Tersebab itulah, sehat menjadi sangat berarti dan tentu saja mahal. Akan terasa berarti justru ketika kita sedang dalam keadaan sakit. Banyak yang tak bisa ditemukan ketika sakit dan mudah didapatkan saat dalam keadaan sehat. Karenanya, sehat amat berarti. Sebuah anugerah yang amat mahal. Bagi mereka yang sakit dan ingin kembali sehat, tak hanya harus dibayar dengan uang, tetapi pula dengan pikiran yang terperas dan doa yang lebih deras.
Betapa ruginya seseorang yang menyia-nyiakan anugerah sehat yang Allah titipkan padanya. Terlebih jika dipahami bahwa di balik semua anugerah sehat, ada perintah untuk melipatgandakan taat. Selagi sehat, perbanyak beramal baik. Shalat jamaah-nya lebih rajin lagi. Baca al-Qur`an-nya lebih intens lagi. Hadir di majelis taklim-nya lebih giat lagi. Belajar dan mengambil pelajaran dari semua kejadian, lebih peka lagi. Ibadahnya lebih baik lagi.
Anugerah sehat yang Allah titipkan adalah bagian dari cara-Nya mencintai kita. Dengan sehat, kita dimampukan oleh Allah untuk menjaga semua amalan-amalan kebaikan dengan nyaris sempurna—hal yang sulit dilakukan oleh mereka yang sedang diuji sakit. Karenanya, seandainya disia-siakan, apalagi dengan berbuat zalim dan maksiat, rasa syukur telah hilang dalam diri kita. Sementara itu, hilangnya rasa syukur adalah indikator bahwa kita berpaling dari-Nya.
Imbasnya, hati-hati, jika dalam keadaan sehat, kita berpaling dari Allah, niscaya Allah akan menguji kita dengan sakit agar kita teringatkan dan kembali kepada-Nya. Dengan demikian, pilihan ada di tangan kita. Ingin beribadah dalam keadaan sehat atau harus diuji sakit terlebih dahulu agar ibadah kita lebih khusyu’? Sehat dan sakit adalah cara Allah mengungkapkan cinta kepada hamba-hamba-Nya. Lantas, bagaimana cara kita membalas cinta dari-Nya?
Selagi sehat, jangan sekali-kali meninggalkan shalat berjamaah. Hadir di masjid adalah bukti bahwa kita memenuhi seruan azan dari-Nya. Selagi sehat, manfaatkan untuk membaca al-Qur`an. Mengeja huruf demi huruf kalam-Nya adalah bukti bahwa kita mencintai-Nya. Pelajari pula intisari dan tafsirnya dengan hadir ke majelis ilmu. Duduk dan belajar di majelis ilmu adalah bukti bahwa kita bersungguh-sungguh mencari cara untuk mendapat ridla dari-Nya.
Selagi sehat, jangan sekali-kali menyiakan waktu untuk hal-hal yang tak perlu. Bekerjalah dengan gigih dan serius. Buktikan bahwa kita lelaki yang bertanggung jawab—kepada Allah dan kepada keluarga. Berucaplah dengan jujur dan lembut. Buktikan bahwa kita manusia yang dibekali akal dan pikiran untuk memandu sikap dan ucap yang terhormat. Berdermalah dengan tulus dan tanpa pamrih. Buktikan bahwa ada hak orang lain dalam harta kita—di luar formulasi zakat.
Tempo hari saya menjenguk saudara yang sedang sakit. Ia sedang berusaha melawan kanker darah yang menghitam-legamkan tubuhnya—nyaris dalam empat tahun terakhir. Berat badannya menyusut. Dari tinggi besar dan kuat, menjadi kurus kering dan lemah. Sungguh, ia seorang kiai yang tawadlu’. Ahli ibadah dan ahli ilmu. Dalam keadaan lemah dan lumpuh, shalat dan zikirnya membuat sesiapa yang melihatnya cemburu: Hamba Allah yang sabar dan tegar.
Saya dibuat malu karenanya. Anda jugakah? Dalam keadaan sakit, kita belum tentu mampu sesabar dan setegar itu. Karenaya, selagi sehat, mari perbaiki diri. Menjadi manusia terbaik di hadapan Allah juga di hadapan manusia. Taubati hal-hal buruk yang sudah terjadi dan jadikan pelajaran. Mulai kembali langkah baru yang lebih baik dan niati sebagai bagian dari ritual ibadah sepanjang hayat. Mari, selagi sehat! Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.(KPN/Kiki Musthafa)