Respon Elegan

KABARPESANTREN.ID—Nabiyullah Ibrahim As. pernah meminta agar Allah menunjukkan kepadanya bagaimana Ia menghidupkan sesuatu yang sudah mati. Sebuah permintaan yang aneh dan sekaligus cenderung meragukan Maha Kuasanya Allah. Faktanya, mudah bagi Allah untuk hal sekecil itu. Bukan hanya menghidupkan kembali, bahkan, mematikan dan menghidupkannya hingga berkali-kali pun, tentu, Allah Maha Mampu. Sepintas, permintaan Nabi Ibrahim As. agak nyeleneh.

Wa idz qala Ibrahimu Rabbi arini kaifa tuhyi al-mauta,” demikian QS. al-Baqarah: 260 mengabadikan permintaan absurd Nabi Ibrahim As. tersebut. Beberapa mufassir menyebutkan, permintaan itu terjadi saat Nabi Ibrahim As. melewati bangkai keledai. Terbersitkan keinginan untuk meminta kepada Allah bagaimana bangkai tersebut bisa dihidupkan kembali. Hanya saja, permintaan itu seakan bernada meragukan Maha Kuasanya Allah.

Bacaan Lainnya

Qala awalam tu`min?” tanya Allah kemudian, “Apakah kamu tidak beriman, Ibrahim?” Jelas meragukan Maha Kuasanya Allah adalah bagian dari tidak mengimani Allah. Dengan segera Nabi Ibrahim As. mengklarifikasi, “Qala bala, wa lakin liyathmainna qalbiy—tentu saja aku beriman, ya Allah, tetapi pertanyaan itu semata-mata agar hatiku tenang.” Maksud liyathmainna qalbiy merujuk pada agar bertambah iman dalam dirinya dengan keyakinan yang tidak terbatas.

Lalu, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim As. untuk mengambil empat burung, “Qala fakhudz arba’atan min al-thairi.” Tentang jenis burung, beberapa mufassir berbeda pandangan. Sebagian menyebutkan: Burung gagak, elang, merpati dan ayam jago. Sebagian lain, menyebutkan jenis dengan kombinasi berbeda: Bebek yang hijau, elang yang hitam, merpati yang putih dan ayam jago yang merah. Terlepas dari itu, empat burung ini semata untuk membuat Nabi Ibrahim mengerti bahwa hal apa pun mudah bagi Allah.

Keempat burung tersebut, disebutkan oleh mayoritas mufassir, disembelih dan dipotong-potong oleh Nabi Ibrahim As. Bulu-bulunya dicabuti dan darahnya dicampur dengan bagian tubuh burung yang lain. Lalu, keempat bagian dari burung-burung tersebut, dikumpulkan dalam empat bagian yang terpisah, disimpan di empat gunung dengan jarak yang berjauhan, kecuali bagian kepalanya yang masih dipegang oleh Nabi Ibrahim As, fashurhunna ilaika tsumma ij’al ‘ala kulli jabalin minhunna juz`a.

Setelah semua terpisah dalam empat bagian di empat gunung yang berjarak, Nabi Ibrahim As. meminggal semuanya agar mendekat: Tsummad’uhunna. Sebuah keajaiban terjadi. Mereka mendekat dengan segera: Ya`tinaka sa’ya. Beterbangan dan menyatu di atas langit. Nabi Ibrahim As. kaget. Mereka menyatu menjadi bagian yang saling melengkapi satu sama lain, sesuai jenis burung masing-masing, sayangnya, tanpa kepala. Di tangan Nabi Ibrahim As. kepala mereka tertahan.

Perlahan bagian utuh tanpa kepala tersebut, mendekati Nabi Ibrahim As. dan mencari kepala mereka masing-masing. Jika cocok, mereka mendekat. Jika keliru, mereka mundur dan mencari lagi. Jika divisualisasi dalam imajinasi kita, betapa filmik-nya adegan terpisah dan menyatunya bagian tubuh burung yang telah dipotong dalam beberapa bagian itu. Allah memperlihatkan keajaiban itu, semata-semata untuk menenangkan hati Nabi Ibrahim As. tentang betapa Maha Kuasanya Allah.

Wa’lam anna Allaha ‘azizun hakimun—Ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana. Sebuah pernyataan yang tentu untuk semua makhluk Allah, bahwa mudah bagi Allah untuk melakukan apa pun yang tampak tidak mungkin bagi makhluk-Nya. Ya, sekaligus betapa Maha Bijaksananya Allah. Alih-alih marah, Allah justru menunjukkan Maha Kuasanya dengan cara yang elegan.

Jika seseorang merendahkan dan meragukan kemampuan kita. Respon secara elegan. Tanpa perlu tersulut dan marah. Perlihatkan bahwa kita mampu, dengan bukti yang nyata, bukan menimpalinya dengan kata-kata. Lakukan dengan tulus untuk mengakomodir sebanyak mungkin kebaikan, bukan dimotivasi oleh hawa nafsu yang gelap di balik hasrat pembuktian. Agaknya, itu salah satu ibrah yang bisa diambil dari cerita Nabi Ibrahim As. di atas. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.[]

 

 

 

 

Penulis: Kiki Musthafa