Refleksi Hari Santri: Festivalisasi Peran dan Eksistensi

HARI Sabtu tanggal  22 Oktober 2022 adalah puncak perayaan Hari Santri Nasional. Pesantren yang notabene rumahnya para santri, sudah meramaikan perayaan tahunan ini sejak beberapa hari sebelumnya. Beragam perlombaan, pengajian umum, tablig akbar, pun kegiatan lain tentang unjuk eksistensi dan pengingat bahwa santri pernah ada, selalu dan akan terus ada untuk mengawal NKRI. Sampai waktu tidak memiliki hitungan apa pun lagi. Sampai sesuatunya tidak bernama apa pun lagi.

Tulisan sederhana ini mencoba mengulas sepintas dua hal termaksud: Unjuk eksistensi dan pengingat terkait keberperanan kaum santri. Dalam lintas sejarahnya, keberadaan santri—kaum santri—tak lepas dari keberadaan pesantren. Sementara pesantren tentunya tak bisa dipisahkan dari perjalanan kiai. Lalu, perjalanan kiai tak mungkin bisa dijauhkan dari perjuangan mendakwahkan Islam di tanah air ini. Pergerakan dakwah itu pun pada akhirnya menjadi salah satu jalan untuk melepaskan diri dari kolonialisme—dahulu semasa zaman penjajahan.

Bacaan Lainnya

Kini, kondisinya tentulah berbeda. Negara ini sudah merdeka sejak diproklamirkan Soekarno-Hatta pada tahun 1945. Tujuh puluh tujuh tahun setelah itu, hari ini, perjuangan memerdekakan Indonesia akan terus dikabarkan dan dihidupkan dalam semangat juang yang lain. Salah satunya melalui gerakan santrisasi pada banyak ruang untuk merawat kemerdekaan. Sekaitan itu, Hari Santri Nasional adalah upaya untuk menunjukkan eksistensi dan keberperanan kaum santri dalam mengawal perjalanan NKRI saat ini dan masa depan.

Eksistensi kaum santri—setengah abad ini dikaburkan sejarah dengan sedemikian rupa—mulai tampak ke permukaan. Semua tersadar bahwa pergerakan kemerdekaan, salah satunya, dimulai dari pergerakan kaum santri. Fakta sejarah yang tak bisa dibantah dan tanpa bermaksud menyisihkan keberperanan kelompok lain. Artinya, kaum santri bersama kelompok lainnya ikut serta merebut kemerdekaan. Akan tetapi, lain dulu, lain pula saat ini. Kaum santri dituntut berkontribusi lebih untuk menjadi penjaga moral dan motor penggerak demi Indonesia yang lebih merdeka.

Oleh karenanya, Hari Santri Nasional dengan ragam kegiatan yang digelar di seluruh pesantren adalah upaya untuk menunjukkan keberadaan itu. Tentu saja sebagai alarm yang bunyinya mesti menjadi pengingat bahwa perjuangan memerdekakan Indonesia belumlah usai. Santri harus berani melewati sekat-sekat kobong untuk pula bergerak dan menjadi pengubah di sektor yang lain. Terjun di politik praktis untuk memimpin dengan baik. Masuk di sektor ekonomi untuk pula memajukan ekonomi umat. Mengambil peran dan membuat panggungnya sendiri dalam banyak hal. Tak henti berkarya untuk menjadi manusia yang penuh daya dan manfaat—anfauhum linn-nas.

Selanjutnya, menjadi pengingat tentang peran kaum santri dalam melangsungkan dakwah dan merawat NKRI. Jika santri adalah personifikasi dari kiai dan kiai adalah personifikasi Nabi—al-‘ulama waraasatsatul-anbiya, keberperanan santri senyatanya merujuk pada tugas utama Nabi. Pertama, menyampaikan (tabligh) ajaran-ajaran-Nya sesuai dengan ayat, “Yaa ayyuha-rrasulu baalligh maa unzila ilaika min Rabbika.” (QS. al-Maidah: 67). Kedua, menjelaskan (tabyin) ajaran-ajaran-Nya, “Wa anzalnaa ilaika adz-dzikra litubayyina lin-naasi maa nuzzila ilaihim…” (QS. an-Nahl: 44).

Ketiga, memutuskan perkara atau problem yang dihadapi masyarakat (problem solver), “…wa anzala ma’ahumul-kitaaba bil-haqqi liyahkuma bainan-naasi fiimaa ikhtalafuu fiihii.” (QS. al-Baqarah: 213). Keempat, memberikan contoh pengamalan, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah r.a., yang menyatakan bahwa perilaku Nabi adalah praktik dari Alquran. Empat hal yang harus menjadi pijak berpikir, bertindak dan bergerak kaum santri. Unjuk eksistensi, festivalisasi peran dan menebarkan kebermanfaatan.

Berangkat dari harapan yang amat tinggi itu, setidaknya Hari Santri Nasional bukan hanya menetapkan tanda khusus di kalender. Namun, menjadi momentum krusial untuk memukul kesadaran anak bangsa—khususnya umat Islam—bahwa eksistensi kaum santri dan keberperanannya akan menjadi penentu jatuh-bangunnya bangsa ini kelak. Santri memiliki peran sentral dalam upaya terakbar membangun bangsa yang merdeka, beradab dan terhormat di mata dunia. Sudah tidak bisa ditunda lagi. Saatnya bergerak. Saatnya bertindak. Saatnya berkontribusi nyata.

Terakhir, meskipun demikian, tetaplah harus ada sebagian santri yang fokus mengurusi kobong dan pesantren, mengaji kitab kuning, mendaras dan mengajarkan Alquran—jangan seluruhnya pergi ke medan jihad dalam konteks membangun peradaban bangsa yang luhur (QS. at-Taubah: 122). Baiklah, atas nama segala hal yang membanggakan, saya ucapkan, “Selamat Hari Santri Nasional. Jaga negeri. Rawat bangsa. Total!” Allahumma  shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. (KPN)

Penulis: Kiki MUsthafa, Pemimpin Redaksi kabarpesantren.id