Penjamu yang Baik

Ilustrasi: www.ruparupa.com

KABARPESANTREN.ID—Suatu ketika saya berkesempatan mengunjungi rumah seorang kawan. Agenda utamanya adalah khataman al-Quran bersama santri dan tahlil 40 hari wafatnya ayahnya. Di kesempatan yang sama, tersebab rumah dari kawan saya itu dekat dengan rumah sahabat ayah saya ketika di pondok dulu, saya dipinta untuk mampir dan bermalam. Sesuatu yang tentu tidak bisa saya tolak.

Selama dua hari, saya dijamu dengan amat luar biasa. Mulai dari dijemput di tempat pemberhentian bus di eks terminal legendaris di bilangan Jakarta Selatan hingga dipersiapkan tempat istirahat dan hal lainnya. Cara mereka menjamu, jelas membuat saya benar-benar merasa malu. Ternyata cara saya menjamu mereka ketika mereka bertamu ke Tasik, belumlah seberapa dibanding apa yang mereka lakukan ketika saya balik bertamu.

Bacaan Lainnya

Banyak hal yang kemudian dapat kita pelajari dari orang-orang baik ketika mereka mementaskan kebaikan di hadapan kita. Salah satunya, cara mereka menjamu. Hidupnya selalu dimudahkan oleh Allah. Segala urusannya senantiasa terlihat lancar dan mengalir dengan sedemikan ringannya. Kebaikan yang mereka sampaikan kepada orang lain, Allah kembalikan jauh lebih baik lagi. Menjadikan hari-hari mereka lepas dari segala hal yang menyulitkan dan menyesakkan.

Benar sabda Rasulullah Saw tentang berkah menjamu saudara muslim yang bertamu dengan membawa maksud baik. “Ma min mu`minin yakramudl-dlaifa bima wajada minath-tha’ami illa fatahaAllahu ta’ala lahu baban fil-jannati—tidak ada dari seorang muslim yang memuliakan tamunya dengan memberikan makanan yang ia dapati kecuali Allah membukakan pintu surga baginya,” sabda Rasulullah Saw yang saya rasa terasa relevan dengan cerita yang sampaikan.

Frasa bima wajada minath-tha’am tidak hanya merujuk pada menjamu tamu dengan menghidangkan makanan yang layak, tetapi pula membicarakan tentang sikap dan cara seorang muslim membuat tamunya nyaman dan merasa baik-baik saja. Secara umum, frasa tersebut mengindikasikan cara menjamu yang amat baik. Tamu merasa dihargai dan dihormati. Keberadaannya merasa diakui. Tak semua orang memiliki kemampuan dan kecakapan menjamu tamu dengan cara demikian. Ini hal yang amat mahal.

Tersebab itulah, Allah senantiasa memberikan hal mahal lainnya untuk mereka yang cakap menjamu tamu. Frasa terakhir dari hadis di atas adalah jawabannya: FatahaAllahu ta’ala lahu baban fil-jannati, Allah membukakan pintu surga bagi sesiapa yang menjamu tamu dengan baik. Selanjutnya, lafaz al-jannah yang berarti surga, memiliki interpretasi yang beragam jika dihubungkan dengan kehidupan dunia. Hal yang luput kita sadari bahwa surga Allah bisa turun lebih cepat untuk orang-orang baik.

Saya bersaksi untuk kebaikan orang-orang yang amat cakap menjamu dan berusaha total memuliakan tamu. Mereka dihadiahi surga oleh Allah. Kondisi finansialnya tampak stabil dan cukup. Andai pun sesekali terlihat kurang, wajar, tak ada yang benar-benar selesai dengan materi duniawi. Kehidupan keluarganya harmonis. Relasinya dengan tetangga pun terjalin baik. Semangatnya untuk senantiasa tha’at di jalan Allah tidak pernah redup. Demikianlah surga untuk mereka yang cakap memuliakan tamu. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. (KPN/Kiki Musthafa)