Orang-Orang yang Berzikir

Ilustrasi seekersguidance.org

KABARPESANTREN.ID—Pembicaraan al-Quran tentang orang-orang yang berzikir, salah satunya, disandarkan pada ulul al-bab—orang-orang yang berakal. Mereka yang memaksimalkan akalnya untuk mengamati, meneliti, tadabur dan tafakur terhadap penciptaan langit dan bumi. Akalnya tidak diam. Senantiasa bergerak mendikte satu per satu ciptaan Allah sebagai medium untuk mengingat keberadaan-Nya. Bahkan, semua realitas yang dihadapinya. Menjadi kelas paling luas untuk mendapatkan ilmu-ilmu baru.

Kerja akal ulu al-albab tidak berangkat dari ruang yang kosong, tetapi sarat akan ilmu pengetahuan. Ia paham batasan krusial dalam memaksimalkan akal sebagai instrumen zikir di satu sisi dan sebagai mekanisme berfikir di sisi yang lain. Dengan zikir, ia menemukan keteduhan di tengah teriknya kehidupan. Dengan berfikir, ia mendapatkan ilmu-ilmu baru yang akan menjadi fondasi untuk mengaktualisasikan zikir dalam konteks yang lain. Zikir yang tidak hanya mengingat dan berucap, tetapi pula bergerak dan bertindak.

Bacaan Lainnya

Mereka yang terkategorikan ulul al-bab, senantiasa berupaya menghidupkan zikir dalam praksis kehidupan. Mengingat Maha Kuasanya Allah, ia berusaha menunduk dengan menyadari kekerdilannya dan tidak zalim terhadap sesama. Mengingat Maha Rahman dan Rahimnya Allah, ia berusaha menjadi manusia yang penuh kasih sayang terhadap sesamanya. Mengingat semua tentang Allah, ia berusaha menjadi hamba yang taat dan tunduk. Hubungan dengan Allah selalu baik. Hubungan dengan sesama senantiasa harmonis. Inilah mereka.

Pertama, al-ladzina yadzkuruna Allaha qiyaman—yang berzikir kepada Allah sambil berdiri. Dalam keadaan mampu dan kuat. Dalam keadaan sedang memiliki kuasa untuk melakukan dan mengakomodir lahirnya kebaikan. Fisik dan psikisnya sehat. Frasa qiyaman andai digeneralisasi dalam pemaknaan yang lebih praksis—terkait dengan dinamika hidup secara umum—merujuk pada keadaan dimana seseorang sedang dikuatkan oleh Allah dalam banyak aspek.

Frasa qiyaman berarti dalam kondisi sedang dititipi rezeki lebih. Sedang sehat lahir dan batinnya. Sedang memiliki wibawa untuk menggerakkan orang lain menuju jalan taat. Sedang diamanahi kekuasaan yang dengannya segala bentuk kebijakan publik bisa ia kendalikan untuk melahirkan manfaat. Sedang dalam kondisi hati yang bahagia dan dapat membahagiakan orang lain. Sedang dalam keadaan berpotensi melahirkan kebaikan. Erat dengan seseorang yang memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat. Dalam kondisi demikian, ia selalu berzikir kepada Allah.

Kedua, wa qu’udan—dalam keadaan duduk. Secara semantik, duduk identik dengan beristirahat, mendengarkan, menyimak. Karenanya, pada konteks ulul al-bab ini, berzikir dalam kondisi duduk merujuk pada karakter pembelajar dan rendah hati. Dalam posisi membutuhkan pengajaran dan nasihat dari pihak lain. Terbuka pada kritik. Senang membangun komunikasi dan menyambung silaturahmi dengan pihak lain. Berdialog dan berkolaborasi.

Semuanya dalam koridor berzikir kepada Allah. Karenanya, berzikir dalam kondisi duduk ini, secara general merujuk pada karakter orang-orang yang memiliki etiket luhur dan akhlak yang terpuji. Semua bentuk interaksinya dengan sesama adalah implementasi zikir yang berdetak di dadanya dan bergerak di ucap dan sikapnya. Dengan sesama baik. Dengan alam baik. Dengan Allah selalu baik. Ia menjadi representasi dari sebaik-baiknya manusia yang Allah ciptakan.

Ketiga, wa ‘ala junubihim—dan dalam kondisi berbaring. Ketika hilang kuasa dan tak memiliki kekuatan serta daya apa pun. Ketika jatuh dan terpuruk. Ketika gagal dan hancur. Ketika lemah dan papa. Berbaring identik dengan kondisi seseorang yang lelah—tersebab beragam faktor yang melatarbelakanginya. Ia tetap berzikir kepada Allah. Bersandar dan menyandarkan segala sesuatunya kepada Allah. Menyadari seutuhnya bahwa di balik kesulitan ada kemudahan yang niscaya.

Seseorang yang selalu pasrah dan hanya meminta pertolongan kepada Allah semata. Ia menyandarkan hidup kepada Allah, tidak hanya dalam posisi dihadapkan pada kesulitan saja, tetapi pula dalam kondisi dihadiahi kemudahan yang tiada terkira. Karenanya, ia amat paham. Sulitnya, berasal dari Allah. Mudahnya, karena Rahman dan Rahimnya Allah. Tidak mudah mengeluh dan berkeluh kesah. Sabar sampai akhir. Syukur tanpa ujung. Hakikat zikir yang sesungguhnya.

Keempat, wa yatafakkaruna fi khalkis-samawati wal-arld—dan bertafakur pada perciptaan langit dan bumi. Semua yang tampak di atas langit dan setiap yang tertanam di permukaan bumi serta yang terkubur di dalamnya, adalah objek berpikir bagi ulul al-bab. Semua yang tercipta adalah isyarat yang Allah hadirkan tentang keberadaan-Nya. Setiap kejadian adalah ilmu baru bagi yang berkenan mengambil hikmah dan i’tibar terbaik di setiap yang terlihat, terdengar dan terasa. Bagi orang-orang yang berzikir, semua yang tercipta tak pernah terasa sia-sia.

Demikianlah, mereka yang konsisten berzikir dalam segala kondisi, senantiasa dimudahkan oleh Allah. Hatinya tentram dan tenang. Semua yang terjadi hanya rekayasa takdir yang sesekali terasa pahit untuk merasakan manis yang tiada dua. Ala bidzikrillahi tathmainnul-qulub. Zikir yang membuat semuanya akan terasa baik-baik saja. Zikir orang-orang yang berilmu dan berkenan menjadi pembelajar sepanjang hayatnya. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. (KPN/Kiki Musthafa)

 

*Dimuat ulang dari tulisan H. Kiki Syukri Musthafa, M.Ag. di Buletin Masjid Agung Kota Tasikmalaya (11/08/2023)