Merespon Kesia-siaan

KABARPESANTREN.ID—Salah satu indikator seseorang bahagia adalah keberhasilannya menahan respon yang tiada guna. Menahan ucapan yang tidak perlu apalagi mengundang madarat. Menahan sikap yang tidak berguna apalagi mendatangkan mafsadat. Menahan pikiran busuk yang merusak apalagi tergerak menginisiasi lahirnya keburukan. Menahan hati dari menjadi gelap apalagi melegitimisai cara-cara buruk untuk memuluskan kebaikan. Keliru dan menjerumuskan pihak lain.

Agaknya, demikianlah yang dimaksud Abu Yazid al-Busthami, seorang sufi agung dari Persia yang hidup di abad III Hijriyah dalam ucapannya, “An-yakuna qalilu al-qauli fima la yahtaju ilaihi—sedikit berkata dalam hal yang tidak ia butuhkan.” Intinya, sedikit berkata-kata merujuk pada kehati-hatian dalam melepaskan ucapan. Sebuah ucapan—al-qaul— jika digeneralisir pada aktivitas personal seseorang, akan merujuk pula pada: Sikap, pikiran dan hati. Seluruhnya.

Bacaan Lainnya

Proses filterasi yang berlangsung ketat secara internal dalam diri seseorang—saat merespon keadaan—adalah kunci lahirnya kebahagiaan. Pertama, mengendalikan ucapan. Seseorang yang cakap mengendalikan lisannya, ia akan selamat dalam hal-hal lainnya. Dalam satu hadis yang cukup populer, Nabi Saw. bersabda, “Salamatu al-insani bi hifdhi al-lisani—selamatnya manusia disebabkan karena lisannya terjaga.”

Karenanya, untuk sesiapa yang tidak bisa menjaga lisannya dan mengucapkan hal buruk, sulit baginya dihampiri kebahagiaan. Ucapannya menjadi sembilu yang menyayat pihak lain dan kembali pada dirinya sendiri. Kata-katanya menjadi bisa yang meracuni orang lain dan tentu meracuni dirinya sendiri. Semua yang meluncur dari lisannya, senyap ataupun gegap, bisik ataupun teriak, menjadi madarat bagi dirinya dan orang-orang di sekelilingnya.

Kedua, mengendalikan sikap. Seseorang yang cakap mengendalikan sikapnya, ia tidak akan dikendalikan oleh hal buruk lainnya. Menjaga sikap yang terhormat, sama hal dengan menjaga kehormatan diri—al-‘irdl. Karenanya, seperti halnya ucapan, sikap yang baik akan menjaga kehormatan seseorang pada level yang baik. Sebaliknya, sikap yang buruk pun akan mencitrakan diri seseorang  pada level terburuk.

Ketiga, mengendalikan pikiran dan hati. Dua komponen penting dalam diri seseorang yang secara fisikal tidak terlihat ini, memiliki kendali penuh pada ucap dan sikap seseorang. Hati yang bersih akan membuka pikiran yang jernih. Pikiran yang jernih akan menjadi filter bagi lisan agar hal-hal buruk tidak terucap. Akan pula menjadi detektor bagi semua anggota tubuh agar tidak menggerakkan dan melakukan hal yang tidak terpuji.

Kembali pada ungkapan bijak Abu Yazid al-Busthami, ketiga hal di atas akan menjadi pembeda tentang kualitas seseorang dalam merespon realitas di sekitarnya. Jika direspon dengan menjaga tiga hal termaksud, seseorang akan menjadi individu dengan kualitas Islam terbaik dalam dirinya. Ia tidak rela menjatuhkan dirinya pada kesia-siaan. Ia menjaga Islam dalam dirinya dengan meninggalkan hal-hal yang tiada guna dan nirmanfaat.

Tentang hal di atas, dalam sebuah hadis shahih, Nabi Saw. pernah menyampaikan pernyataan, “Min husni islami al-mar`i tarkuhu ma la ya’nihi—yang menjadi indikator baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak melahirkan manfaat baginya.” Seseorang dengan Islam yang baik dalam dirinya, tidak akan berkata dusta dan tercela, bersikap zalim dan aniaya, berpikiran busuk dan tiada guna lainnya.

Pada akhirnya, dengan meninggalkan hal yang sia-sia, kebahagiaan akan tiba dengan sendirinya. Frasa qalilu al-qauli—sedikit berkata, bersikap, berpikir—yang merujuk pada sesuatu yang tak berguna, mengindikasikan adanya upaya filterasi dalam diri seseorang. Ia akan terbahagiakan karena senantiasa memproritaskan hal yang bermanfaat, baginya juga bagi orang lain. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.[]

Penulis: Kiki Musthafa