KABARPESANTREN.ID—Semua ingin bahagia. Tanpa terkecuali. Karenanya, semua bekerja. Beragam profesi dijalani. Bermacam pekerjaan dilakoni. Apa saja. Asalkan halal. Asalkan tidak menzalimi orang lain. Tidak dengan merampok atau mencuri. Tidak pula dengan menipu dan merampas harta orang lain. Koruptor-koruptor itu. Mereka sama ingin bahagia. Sama seperti orang-orang lainnya. Namun, mereka bahagianya dengan merampok hak banyak orang. Merekah manusia paling buruk dalam sejarah para pemburu bahagia.
Memburu kebahagiaan harus dengan cara yang membahagiakan. Tentu saja, membahagiakan diri sendiri dan membahagiakan orang lain. Tidak dengan cara yang menyakitkan dan menyakiti. Jika kebahagiaan didapat dengan cara membahagiakan diri sendiri dan orang lain. Kebahagiaan tersebut akan berumur lama dan terasa amat menyejukkan. Namun, jika direbut dengan cara yang menyakitkan dan menyakiti. Kebahagiaan yang diperoleh akan menjadi rasa sakit yang tiada terbilang perihnya.
Semisal, kebahagiaan yang diraih melalui kesuksesan usaha yang jujur dan sehat. Usaha yang jujur, kadang, sekalipun terasa berat, selalu melegakan. Orang-orang baik ikut terlibat. Ikut terbahagiakan oleh prosesnya. Hasilnya berkah. Sekalipun, andaikan, hasilnya sedikit. Akan terasa cukup dan menenangkan. Usaha yang baik dan membahagiakan. Akan menjadi kebaikan yang berlipat dan melahirkan kebahagiaan bagi diri sendiri juga orang lain. Memburu kebahagiaan dengan cara terpuji akan melahirkan kebahagiaan yang tidak terganti.
Sebaliknya, kebahagiaan yang diraih dengan usaha yang zalim dan nista. Semisal, merampok uang rakyat. Tentu, tidak membahagiakan bagi siapa pun. Pada hakikatnya, seorang koruptor tidak terbahagiakan dengan harta yang ia dapat melalui cara-cara korup. Tersiksa dan tertekan. Gelisah dan gundah. Sekalipun lepas dari jerat hukum atau kabur, sampai-sampai KPK hilang akal untuk menangkapnya, tetap saja harta itu tidak menenangkan. Harun Masiku, contohnya, dia bisa jadi detik ini sedang meringkuk kedinginan di bawah got karena takut keberadaannya tercium oleh aparat hukum.
Kebahagiaan hanya milik orang-orang yang berbuat baik. Al-Qur`an secara tersirat menjelaskan tentang siapa yang layak mendapatkan kebahagiaan. Salah satunya dalam QS. Al-Baqarah: 277: Innal-ladzina amanu wa ‘amilush-shalihati wa aqamush-shata wa atauz-zakata lahum ajruhum ‘inda Rabbihim wa la khaufun ‘alaihim wa la hum yahzanun—sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, mendirikan salat, mengeluarkan zakat, bagi mereka pahala di sisi Rabb-nya. Bagi mereka tidak ada rasa takut dan rasa sedih.
Kebahagiaan identik dengan hilangnya rasa takut, gelisah, gundah, tertekan, yang pada ayat di atas terefleksi dalam wa la khaufun ‘alaihim. Tentu saja, tidak pula merasakan kesedihan, keluhan, keterpurukan dan hal lain yang mengindikasikan perasaan tak nyaman yang secara psikis amat menyakitkan, wa la hum yahjzanun. Karenanya, berangkat dari konklusi hilangnya rasa takut dan sedih termaksud, kebahagiaan hanya dimiliki oleh orang-orang yang beriman, beramal saleh, mendirikan salat dan mengeluarkan zakat.
Pertama, al-ladzina amanu, orang-orang yang beriman. Keimanan mengantarkan seseorang pada kebahagiaan. Tersebab iman-lah ia dapat memagari dirinya dari hal-hal yang dilarang oleh Allah dan Rasulnya. Sementara itu, semua hal yang dilarang oleh Allah dan Rasulnya adalah hal-hal yang justru akan menjadi madarat andai ia melakukannya. Kemadaratan dalam bentuk apa pun adalah anitesis dari kebahagiaan. Orang yang beriman, tidak bermaksiat. Orang yang tidak bermaksiat, niscaya beramal saleh. Orang yang beramal saleh, senantiasa bahagia.
Kedua, wa ‘amilush-shalihat, orang-orang yang beramal saleh. Selain karena akan menghindarkan seseorang dari madarat dan kesulitan. Amal saleh akan melembutkan hati seseorang yang melakukannya. Hati yang lembut, amat mudah menerima kritik, nasihat dan ilmu. Sementara orang yang terbuka pada kritik, selalu bersedia menjadi pembelajar. Orang yang rela dinasehati, selalu siap memperbaiki diri. Orang yang terus mencari ilmu, senantiasa tak henti mendapatkan rambu-rambu baru. Mereka memiliki bekal yang cukup untuk merasa bahagia.
Ketiga, wa aqamush-shalata, orang-orang yang mendirikan salat. Secara prinsipal, salah satu keutamaan salat terangkum pada: Innash-shata tanha ‘anil fakhsya`i wal-munkari—sesungguhnya salat dapat menahan seseorang dari melakukan hal yang keji dan munkar. Sementara itu, melakukan hal keji dan munkar adalah jalan termudah untuk jatuh pada kesulitan dan kesengsaraan hidup. Karenanya, mereka yang konsisten mendirikan salat, senantiasa dijauhkan oleh Allah dari semua yang berpotensi menyulitkan dirinya dan orang lain. Mereka akan selalu terbahagiakan.
Keempat, wa atauz-zakata, orang-orang yang mengeluarkan zakat. Selain sebagai kewajiban, mengeluakan zakat merupakan ikhtiar untuk membersihkan harta—yang Allah titipkan—dari hak orang lain yang harus ditunaikan. Andai tidak dikeluarkan, harta tersebut akan melahirkan madarat berkepanjangan. Berkahnya hilang. Keburukannya tumbuh. Karenanya, mereka yang senantiasa mengeluarkan zakat mendapatkan garansi kebahagiaan dari Allah. Tersebab rezeki yang berkah. Tersebab harta yang semata hanyalah bekal untuknya beribadah.
Hari ini Anda masih jungkir balik dan memeras keringat memburu kebahagiaan? Jika tanpa iman yang kokoh, amal saleh yang konsisten, salat yang khusyuk dan zakat yang rapi, kebahagiaan hanya di angan saja, sekalipun sudah bekerja sepanjang waktu. Jangan terlalu berambisi, biasa saja. Hidup hanya main-main. Bekerja serius dan sewajarnya. Berdoa dan beribadah sebaik-baiknya. Jaga hubungan baik dengan sesama. Perdekat hubungan dengan Allah. In syaa Allah bahagia. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. (KPN/Kiki Musthafa)
*Dimuat ulang dari tulisan H. Kiki Syukri Musthafa, M.Ag., edisi cetak di Buletin Masjid Agung Kota Tasikmalaya (15/09/2023).