Maniskah Berislam Kita?

Ilustrasi: kabarpesantren.id

KABARPESANTREN.ID–Berislam kita butuh gula. Agar manis. Agar tidak pahit. Agar banyak semut yang berdatangan. Bahkan mengerubuti. Ingin sama-sama menikmati manisnya. Ingin sama-sama mendapatkan berkahnya. Berislam yang manis itu demikian. Selalu mengundang banyak orang. Untuk merasakan manisnya. Bukan merasakan pahitnya. Islam tidak pahit. Islam itu manis. Jika ada yang mengatakan pahit. Hati dan pikiran orang itulah yang sebenarnya pahit. Mulut dan sikap orang itulah yang sebenarnya pahit. Berislam orang itulah yang sebenarnya pahit. Iman orang itulah yang sebenarnya pahit. Harus ditabuti gula. Diminum dengan penghayatan yang dalam. Dinikmati sampai tetes terakhir.

Berislam dengan cara yang manis. Syaratnya, harus beriman dengan cara yang manis pula. Yakin seyakin-yakinnya. Semesta yang luas adalah bukti keberadaan Allah. Sebagai tempat sujud dan sajadah untuk ibadah. Malaikat-malaikat Allah nyata. Salah satunya, malaikat Jibril As yang menjadi perantara turunnya wahyu. Semua kitab-kitab Allah nyata diturunkan kepada Nabi dan Rasul terdahulu. Rasulullah Muhammad Saw membawa syariat agama untuk menstabilkan kehidupan manusia. Yakini dan ikuti. Al-Qur`an yang diturunkan kepada Rasulullah Saw pun benar adanya. Ia firman Allah. Bukan karya tulis manusia. Hari kiamat pasti terjadi. Semesta berawal dan akan berakhir. Lalu, dinamika hidup diatur oleh Allah Swt untuk kebaikan kita. Syukuri saja.

Bacaan Lainnya

Merasakan manisnya iman tidak mudah. Rasulullah Saw berpesan tentang ini. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan al-Bukhari. Sabda Rasul, “Tsalatsun man kunna fihi wajada halawata al-imani: An yakuna Allahu wa rasuluhu ahabba ilaihi mimma siwahuma, wa an yuhibba al-mar`a la yuhibbuhu illa Allahu, wa an yakraha an yau’da fi al-kufri kama yakrahu an yuqdafa fi al-nari.” Jika diterjemahkan secara bebas artinya seperti ini. Ada tiga perkara yang dengannya seseorang bisa merasakan manisnya iman: lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya dari pada apa pun selain-Nya, tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah, tidak rela untuk kembali kepada kekufuran seperti halnya enggan dilemparkan ke dalam api neraka.

Pertama, an yakuna Allahu wa rasuluhu ahabba ilaihi mimma siwahuma. Mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan cara mentaati dan menjalankan apa yang disyariatkan dan diajarkan oleh-Nya. Allah dan Rasul-Nya adalah prioritas tanpa batas. Tak ada kecintaan yang melebihi cinta kepada-Nya. Karenanya, manisnya iman, manisnya berislam kita, bisa didapat dengan cara melupakan semua kecintaan-kecintaan kita pada selain Allah. Sekalipun hati kita tertambat kepada selain-Nya, semata karena mencintai-Nya. Mencintai orangtua. Mencintai istri. Mencintai anak. Mencintai saudara. Mencintai keluarga. Mencintai sahabat. Mencintai kawan. Mencintai musuh sekalipun. Kecintaan tersebut tidak melebihi kecintaan kita kepada Allah.

Karenanya, kedua, wa an yuhibba al-mar`a la yuhibbuhu illa Allahu. Jika digeneralisir akan bertemu dengan kesimpulan yang amat indah. Pertama, tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah. Demikian hal dengan membencinya. Semua karena Allah. Bukan karena hawa nafsu dan syahwat keduniaan kita. Mencintai keluarga, istri dan anak dan semuanya adalah ikhtiar kita mencintai Allah. Kedua, mencintai seseorang agar ia mencintai Allah. Jika kita mencintai keluarga, istri dan anak, cinta yang sebenar-benarnya adalah mengajak mereka untuk mencintai Allah, tidak mencintai lainnya. Ajarkan mereka mencintai Allah dan mencintai lainnya hanya karena Allah. Ketiga, mencintai orang-orang yang mencintai Allah. Salah satunya, cinta pada ulama yang baik, ulama yang khuyu’, bukan ulama yang rakus.

Selanjutnya, ketiga, wa an yakraha an yau’da fi al-kufri kama yakrahu an yuqdafa fi al-nari. Orang-orang yang tidak mencintai apa pun melebihi mencintai Allah dan Rasul-Nya. Orang-orang yang tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah. Mereka tidak ingin menjadi orang-orang yang berpaling dari Allah dan Rasul-Nya. Mereka tidak akan merekalan diri dan keluarganya terlempar ke dalam api neraka. Ya, neraka kebodohan, neraka kesombongan, neraka kefakiran, neraka kemaksiatan, neraka pengkhianatan, neraka kebohongan, neraka kepalsuan, neraka ketamakan, neraka jahannam di akhirat nanti. Akhirnya, sudah maniskah berislam kita? Kalau belum, mari amalkan tiga pesan Rasulullah Saw di atas. Allahuma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. (KPN/Kiki Musthafa)