KABARPESANTREN.ID—Masih membincang lima indikator ketakwaan seseorang dalam QS. Ali Imran: 17. Ini tulisan yang ketiga. Jika Anda masih berkenan membaca, tentu, ini adalah lanjutan tulisan minggu lalu. Bagian ketiga ini membicarakan dua indikator, yakni al-shadiqin dan al-munfiqin.
Pertama, al-shadiqin, yakni mereka yang benar dalam urusan iman dan agamanya. Pada beberapa literatur tafsir, al-shadiqin merujuk pada urusan iman, fi al-imani. Ibnu Katsir menyebut al-shadiqin sebagai orang yang benar terhadap hal-hal yang dikabarkan kepadanya dari al-Qur`an dan mengamalkannya dengan baik.
Semua yang dijelaskan al-Qur`an diamalkan dengan benar. Petunjuk-petunjuk al-Qur`an diterapkan dalam keseharian tanpa memilah-memilih sesuai kebutuhan. Pada hakikatnya, dalam semua aktivitas kehidupan, manusia membutuhkan al-Qur`an. Baik sebagai penuntun atau justru sebagai peringatan.
Ketika lelah berjalan dan tak tahu harus menentukan dan mengambil keputusan, al-Qur`an adalah jawaban. Demikian hal ketika jatuh dan tak ada yang mengingatkan. Tak banyak yang menyadari karena ketidaktahuan dan berjarak dari al-Qur`an. Faktanya, jangankan dipahami isinya, dibaca saja jarang.
Mereka yang membenarkan semua yang dikabarkan Allah untuk kebaikan mereka—melalui al-Qur`an dan hadis Nabi Saw. dan semua yang disampaikan ulama-ulama mujtahid—akan senantiasa benar saat melangkah. Jika berlawanan dengan Syara`, berhenti. Jika sesuai dengan tuntunan Syara’, lanjut.
Cara al-shadiqin mengamalkan al-Qur`an, semata-mata sebagai ekspresi keimanannya kepada Allah. Dengan cara yang baik, al-shadiqin dapat membedakan dan mengabarkan yang haq sebagai sebuah kebenaran. Dapat pula membedakan dan mengabarkan yang bathil sebagai sebuah keburukan.
Apa pun alasannya, al-shadiqin tak mungkin mencampuradukkan perkara haq dan bathil. Ilmu yang Allah anugerahkan dijadikannya sebagai alasan untuk semakin taat kepada-Nya. Semakin bertambah ilmunya, semakin menunduk. Semakin baik akhlaknya terhadap manusia. Semakin taat ia terhadap Allah.
Al-shadiqin pun adalah seorang pembelajar. Ia kerap mengevaluasi amalan ibadahnya dan tak berhenti untuk terus menyempurnakannya. Untuk hal itu, ia tak henti pula menjadi pembelajar. Mempelajari ilmu-ilmu agama, baik fiqh, tauhid, tasawwuf dan lainnya untuk menjadikan ibadahnya terus membaik setiap waktu.
Kedua, al-munfiqin, yakni mereka yang menafkahkan harta di jalan Allah. Secara spesifik, beberapa mufassir menyebut al-munfiqin dengan al-mutashaddiqin, orang-orang yang bersedekah. Baik itu yang wajib dan jelas formulasinya, semisal zakat, atau pula yang sunnah, semisal sedekah kepada fakir miskin dan lainnya.
Al-munfiqin adalah mereka yang meyakini bahwa setiap rezeki yang dimiliki, semata-mata hanya titipan. Merasa hanya dititipi dan ditugasi untuk menjadi distributor rezeki bagi yang lain. Karenanya, mereka menafakahkan sebagian hartanya untuk orang lain yang membutuhkan juga untuk kepentingan agama.
Bagi al-munfiqin urusan duniawi hanya media untuk mendapat kebahagiaan akhirat. Semua yang didapatkannya, dimaksimalkan untuk kepentingan ibadah dan menyeru kebaikan bagi sesama. Mereka tak takut kehilangan dunia, sekaligus senantiasa siap menerima titipan dari Allah untuk kebaikan diri dan orang lain.
Orang-orang yang bertakwa akan senantiasa demikian. Mereka tak ragu untuk bersikap benar terhadap apa yang dikabarkan al-Qur`an, mengamalkannya dengan sejernih dan setulus penghambaannya kepada Allah. Tak tersimpan motivasi apa pun dalam ibadahnya selain karena berharap ridla Allah semata.
Mereka pun senantiasa menginfakkan sebagian hartanya di jalan Allah. Tak ada kegelisahan yang bergumul di hati dan pikirannya terkait urusan dunia. Jika dapat alhamdulillah. Jika tidak, berikhtiar lagi, bersedekah lagi karena Allah. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. (KPN/Kiki Musthafa)
*Artikel ini terlebih dahulu diterbitkan secara cetak pada lembaran Buletin Masjid Agung Kota Tasikmalaya (24/12/2021)