Lima Indikator Orang Bertakwa (2)*

KABARPESANTREN.ID—Tulisan ini adalah bagian kedua. Jika Anda pembaca tulisan saya minggu lalu, ini lanjutannya. Masih membicarakan lima indikator orang bertaqwa yang dicatat al-Qur`an dalam QS. Ali Imran: 17. Pada tulisan yang lalu, sudah tersampaikan bagian yang pertama, yakni al-shabirin. Tulisan kali ini, tentang bagian yang kedua, yakni al-qanitin, orang-orang yang kokoh dalam taat kepada Allah.

Beberapa literatur tafsir menjelaskan al-qanitin dengan al-muthi’ina li Allahi, orang-orang yang taat kepada Allah. Dalam hal ini, taat yang tidak tergoyahkan oleh apa pun. Baik dalam keadaan sulit atau dalam keadaan mudah, senang atau susah, sendirian atau dalam keadaan sedang bersama-sama dengan orang lain atau banyak orang: Al-tha’at fi al-sirri wa al-‘alaniyyah.

Bacaan Lainnya

Tetap taat dalam keadaan sulit, bukan perkara mudah. Adakalanya, saat perputaran roda kehidupan menempatkan seseorang pada kesulitan, putus asa kerap menghantui. Sialnya, seseorang yang putus asa selalu lupa pada rahmat Allah. Ia tak sadar bahwa Allah akan mempermudah kesulitan tersebut dengan cara-Nya yang kadang tak terduga, selagi ia sabar menghadapinya.

Benar Sabda Nabi Saw., “Kadza al-faqru an yakuna kufran—adakalanya kefakiran menjadikan seseorang menjadi kufur kepada Allah.” Kata faqr pada hadis itu merujuk pula pada semua hal yang membuat seseorang merasa kurang. Hal yang terasa kurang itulah, secara fisik dan psikis menjadikan seseorang merasa susah. Andai tidak sabar, ia akan menjadi kufur, mengingkari nikmat Allah.

Karenanya, taat dalam keadaan sulit selalu tampak menyesakkan. Bahkan, sebenarnya orang-orang yang bertakwa kepada Allah pun merasakan hal yang sama: Sulit dan berat. Hanya saja mereka sabar menghadapinya dan senantiasa taat di jalan Allah. Sementara mereka yang jatuh adalah mereka yang tidak sabar dan melakukan hal-hal yang berlawan dengan perintah Syara’.

Selanjutnya taat dalam keadaan mudah. Jangan pernah mengira bahwa dalam keadaan mudah—rezeki banyak, sehat, karir menanjak, keluarga bahagia, popularitas naik, dihormati banyak orang dan lain sebagainya—membuat taat menjadi mudah. Justru, adakalanya, dalam keadaan mudah menjalani hidup, taat menjadi semakin berat.

Pasalnya, seseorang kerap dibuat lalai dan terlena oleh nikmat Allah yang bergitu deras ia terima. Kecintaannya kepada perkara duniawi menjadi berlipat dan membesar. Sementara ia tidak sadar, cinta pada perkara duniawi adalah muasal dari semua kesalahan. Akan muncul kesalahan-kesalahan baru—dalam konteks bermaksiat dan mengingkari aturan Syara’— karena rasa cinta tersebut.

Sabda Nabi Saw. akan senantiasa benar. Menurut Nabi, “Hubbu al-dunya ra’su kulli khathi`atin—cinta pada perkara dunia adalah pangkal dari semua kesalahan.” Semakin besar rasa cinta terhadap urusan dunia, semakin besar kemungkinan berbuat dosa. Kecuali apabila berangkat dari taat dan menjadikan perkara dunia sebagai bekal untuk beribadah.

Orang-orang yang bertakwa kepada Allah, menjadikan semua kemudahan hidup sebagai jalan untuk memudahkan dirinya beribadah kepada Allah. Mereka meresponnya dengan syukur, berusaha membagi kemudahan yang didapat untuk pula memudahkan hidup orang lain: Semata-mata membantu sesama agar kehidupannya membaik dan ibadahnya terjaga.

Terakhir, taat ketika sendiri dan ketika bersama-sama dengan orang lain. Saat sendiri, merasa ada Allah Yang Maha Melihat, sekalipun ia tak dilihat manusia. Tetap taat dan tidak berbuat maksiat. Ketika bersama-sama dengan orang lain, ia merasa bahwa Allah tak pernah alpa melihat segala isi hatinya, sekalipun dilihat orang lain, taat dan ibadahnya tetap hanya untuk Allah.

Mereka yang senantiasa bertakwa kepada Allah, akan tetap melaksanakan taat, tak peduli dilihat atau tidak oleh manusia. Ibadahnya hanya untuk Allah dan bukan untuk dilihat manusia. Andai manusia melihatnya, hatinya selalu bersembunyi dan mencari-cari Allah sebagai alasannya satu-satunya ia bersujud dan berbuat kebaikan. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. (KPN/Kiki Musthafa)

 

*Artikel ini terlebih dahulu diterbitkan secara cetak pada lembaran Buletin Masjid Agung Kota Tasikmalaya (24/12/2021)

 

Penulis: Kiki Musthafa