KABARPESANTREN.ID—Kata Ammar bin Yasir—Dalam Fath al-Bari, sebelum Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan hadis Rasulullah Saw tentang menebarkan salam—al-infaqu min al-iqtari, berinfak di saat butuh, adalah satu dari tiga indikator yang dapat menggenapkan iman dalam diri seseorang.
Dua indikator lainnya, al-inshafu min nafsika dan badzlu al-salami li al’alami, sudah tersampaikan sebelumnya. Sekarang, mari kita berdiskusi tentang indikator terakhir ini, tentang kepedulian dan kerelaan menafakahkan harta di jalan Allah, sekalipun sedang dalam keadaan sulit.
Secara psikologis, manusia lahir dengan membawa kecenderungan egoistis yang setara. Memiliki naluri untuk mendahulukan kepentingan sendiri. Diri sendiri terlebih dahulu, yang lain kemudian. Jika sudah selesai dengan diri sendiri, baru menyelesaikan urusan yang lain. Tentang hal ini, ada sisi baiknya dan ada pula sisi buruknya.
Baiknya, menjadi sangat siap saat harus mengurusi yang lain karena diri sendiri telah aman terlebih dahulu. Sisi buruknya, berpotensi menghilangkan rasa peduli dan tumbuhnya bibit rakus. Terlepas dari keduanya, asumsi tersebut masih layak diperdebatkan, tergantung dalam konteks apa egoisme tersebut dipertahankan.
Konteks al-infaqu min al-iqtari di atas seakan menjawab bahwa mereka yang imannya kokoh tidak mengenal kata egois dalam kamus hidupnya. Selalu yakin bahwa kepedulian terhadap yang lain atau berinfak untuk kepentingan agama adalah cara terbaik mengundang kepedulian Allah kepada dirinya.
Saat kita memberi, Allah akan balas memberi, bahkan berlipat-ganda. Meyakini formulasi demikian tidaklah mudah. Amat berat karena harus mengombinasikan kesadaran dan kesabaran yang luar biasa. Masalahnya, balasan dari Allah, tidak selamanya sejalan dengan yang kita harapkan—padahal demikianlah terbaiknya.
Faktanya, jika kita bersandar pada keingingan, Allah justru membalas berdasar pada apa yang kita butuhkan. Harus sadar bahwa apa pun yang Allah berikan adalah yang terbaik. Harus pula sabar bahwa seburuk apa pun—menurut pandangan subjektif kita—yang Allah berikan, tetaplah yang terbaik. Banyak hikmah yang bisa diambil.
Kata al-infaqu merujuk pada menafakahkan harta di jalan Allah. Semisal, menyumbangkan harta untuk pembangunan masjid, fasilitas pendidikan, sekolah dan pesantren, santunan anak yatim, menolong fakir-miskin dan lainnya. Sementara min di sana berstatus dharfiyyah—bermakna fi—merujuk pada tempat-keadaan.
Lalu, al-iqtaru merujuk pada keadaan dimana seseorang sedang dalam keadaan membutuhkan, yakni al-ihtaju—butuh. Dengan demikian, al-infaqu min al-iqtari adalah menafakahkan harta padahal ia sendiri sedang dalam keadaan membutuhkan harta tersebut.
Jelas, bukan perkara mudah. Namun, jika berhasil melakukannya, menurut Ammar bin Yasir—genap dan kokohlah iman dalam diri seseorang. Yakin bahwa semua hal yang sulit akan Allah permudah andai tulus menafakahkan harta di jalan Allah, sekalipun dalam keadaan sedang membutuhkan.
Selebihnya al-infaqu adalah tentang kepedulian terhadap sesama dan memiliki empati untuk meringankan beban yang lain. Ya, peduli pada sesama, di saat Anda sendiri butuh dipedulikan. Berempati, di saat Anda butuh diperhatikan. Jika sedang susah, berinfak saja. In syaa Allah akan mudah! Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.[]