KABARPESANTREN.ID—Membicarakan keburukan orang lain selalu terasa mudah, tetapi mengabarkan kebaikannya kerap terasa sulit. Perkara yang tampak sederhana, tetapi berpotensi melanggengkan hubungan buruk dengan sesama.
Terlebih jika objek pembicaraannya adalah orang yang tidak kita sukai. Keburukannya yang sedikit menjadi seakan banyak. Kebaikannya yang banyak menjadi seakan benar-benar sedikit. Tak ada objektivitas dalam permusuhan.
Itulah gibah, mengumbar keburukan orang lain untuk maksud menyakiti. Bahkan bukan hanya yang buruk, sesuatu yang tampak biasa saja, tetapi apabila pihak lain tidak suka andai kita membicarakannya, itu pun masuk kategori gibah.
Suatu ketika ada seorang perempuan dengan fisik yang tak sempurna hadir di depan rumah Rasulullah Saw. Setelah perempuan itu pergi, seorang sahabat membicarakan ketaksempurnaan fisik si perempuan tersebut. Rasul melarang.
Alasannya, sekalipun hal itu adalah fakta, tetapi andai yang menjadi objek pembicaraan tahu dan merasa tidak suka saat kita membicarakannya, masuk kategori gibah. Apalagi dengan memanipulasi kenyataan dan cenderung bernada fitnah.
Amat berbahaya. Memproduksi sebuah wacana tertentu melalui proses gibah akan melahirkan produk gibah lainnya. Membangunkan kebencian dan permusuhan di saat yang sama. Karenanya, jangan gegabah dengan menggibah. Efeknya, ruar biasah! (KPN/Kiki Musthafa)