KABARPESANTREN.ID—Salah satu kunci bahagia adalah sadar diri. Ya, mengerti dan menyadari sepenuhnya keadaan diri sendiri. Lebih-kurangnya. Kuat-lemahnya. Kokoh-rapuhnya. Hebat-terpuruknya. Terhormat-hinanya. Sadar akan semua hal yang harus dibuat lebih dan diperbaiki lebih. Apabila sudah terkatakan baik, harus dibuat lebih baik lagi.
Apabila menyoal hal buruk, harus sesegera mungkin diperbaiki. Sadar diri yang benar-benar sadar akan membuat kita tidak nyaman untuk diam. Selalu ada upaya untuk memperbaiki sesuatu hal setiap detiknya. Selalu ada tekad dan ikhtiar yang kuat untuk menjadi pribadi yang lebih baik setiap harinya. Sudah demikiankah kita?
Sadar diri adalah bagian dari tiga indikator penting genapnya keimanan dalam diri kita. Tentu, hubungannya dengan sadar akan kualitas diri di hadapan Allah juga manusia. Di hadapan Allah, sekuat dan selemah apakah kita melakukan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang oleh-Nya. Sekokoh dan serapuh apakah konsistensi dan istiqamah ibadah kita.
Selanjutnya, sehebat dan seterpuruk apakah amalan baik dan buruk kita. Seterhormat dan sehina apakah penghambaan kita terhadap-Nya. Sadar diri akan baik-buruknya kita di hadapan Allah menjadi kunci sadar diri-nya kita di hadapan manusia. Sadar diri adalah cermin besar yang secara langsung memperlihatkan diri kita seutuhnya.
Tiga hal yang menjadi indikator penting keimanan kita tersebut, terkonfirmasi dalam uraian Ibnu Hajar al-Asqalani di kitab Fathu al-Bari—dengan mengutip pendapat ‘Ammar saat menjelaskan pentingnya menebarkan salam. Uraian ini bernada introduktif untuk masuk pada pembahasan hadis Nabi Saw. tentang hal terbaik dalam Islam.
Tiga hal tersebut, (1) al-inshafu min nafsika, (2) badzlu al-salami li al-‘alami, (3) al-infaqu min al-iqtari. Menurut ‘Ammar, tiga hal inilah yang apabila terhimpun akan menggenapkan iman kita di saat bersamaan, tsalatsun man jama’ahunna faqad jama’a al-imana—tiga perkara yang apabila seseorang menghimpunnya, genaplah iman dalam dirinya.
Tulisan ini terlebih dahulu fokus pada indikator pertama, al-inshafu min nafsika, yakni sadar akan diri sendiri. Dalam hal ini, hubungan iman dengan sadar diri terletak pada upaya mengimplementasikan keimanan tersebut pada hal-hal yang nyata. Karenanya, sadar diri akan menuntut seseorang untuk memperbaiki banyak hal dalam dirinya, ucap, sikap, pikir dan rasa.
Sadar bahwa lisannya masih belepotan, perbuatannya masih berantakan, pikiran dan hatinya masih keruh dan penuh dengan kotoran, rasa dalam dirinya masih bebal dan sulit merespon betapa Maha Baik Allah untuk semua ketentuan. Sadar diri tidak mungkin ada apabila tidak berangkat dari iman yang kuat. Seluruhnya berorientasi ibadah.
Demikianlah orang-orang yang beriman akan selalu sadar diri. Orang-orang yang sadar diri akan selalu bahagia. Orang-orang yang bahagia selalu tulus mengevaluasi dan mengoreksi diri sendiri. Berusaha menjadi lebih baik setiap detiknya. Mari sadar diri. Ada banyak hal yang harus diperbaiki. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.[]