Hidup Membosankan?

Ilustrasi: ustynazimnyfruzynska.blogspot.com

KABARPESANTREN.ID—Hidup terasa stagnan. Membosankan dan selalu memeroduksi kejenuhan-kejenuhan baru. Pagi berangkat kerja. Di tempat kerja sampai sore atau bahkan sampai malam hari. Pulang ke rumah. Beristirahat. Besoknya bekerja lagi. Tak kurang dari 4 sampai 5 hari setiap minggunya. Karenanya, akhir pekan menjadi waktu yang amat berharga. Dihabiskan untuk membuang bosan dan jenuh yang tiada terkira. Namun, tetap saja tidak hilang. Besoknya, bosan dan jenuh itu kembali terasa. Terus merotasi dan tidak pernah berganti.

Agen-agen perjalanan wisata menangkap fenomena kebosanan dan kejenuhan hidup, menjadi pasar yang menjanjikan. Mereka memeromosikan paket perjananan dengan narasi mengusir kebosanan dan jenuhnya hidup. Harus healing, katanya. Niscaya hidup terasa ringan, lanjutnya. Benar saja. Untuk mereka dengan daya finansial yang cukup, rayuan membuang bosan dan jenuh, langsung direspon tanpa berpikir panjang. Ada harapan yang harus dijemput dan dibuktikan. Harus sesegera mungkin.

Bacaan Lainnya

Berapa pun biayanya, bayar. Berangkat menuju tempat yang dalam persepsi awal dapat membuang kebosanan dan kejenuhan hidup. Ternyata, setelah sampai di tempat termaksud, benar adanya. Rasa-rasanya, hidup mulai berwarna. Tidak hanya bosan dan jenuh saja. Ada variasi rasa lain yang sensasinya tak bisa diungkapkan. Untuk mengabarkan pengalaman itu. Tak lupa ambil gambar dengan memasang wajah dan gestur penuh kebahagiaan. Posting di media sosial. Mengabarkan kepada dunia bahwa kita sudah bercerai dengan rasa bosan dan jenuh. Selesai? Tidak.

Sepulang melakukan perjalanan wisata. Kembali pada rutinitas sebelumnya. Rasa bosan dan jenuh yang diharapkan lenyap seluruhnya di tempat wisata, muncul lagi tanpa diduga. Bahkan jauh lebih membosankan dan menjenuhkan. Ada suasana dan rasa yang kontras dan menjadi pembeda: Antara di tempat asal dan tempat wisata. Jauh berjarak dan amat berbeda. Ingin rasanya berlibur setiap hari. Agar bosan dan jenuh pergi. Ingin rasanya hidup seluruhnya adalah berlibur tanpa akhir. Agar, konon, bisa benar-benar ternikmati. Sayangnya, semua taklah terjadi.

Harapan masih ada. Berselang satu bulan. Mengambil paket perjalanan wisata berikutnya. Tempat yang baru. Sensasi yang baru. Harapan yang baru. Seperti ketika berlibur pertama. Yang kedua tak jauh berbeda. Hidup memang terlihat menjadi penuh warna. Bosan dan jenuh hilang sementara. Namun, pulang dari sana. Kembali ke rumah. Berjumpa aktivitas dan rutinitas sebelumnya. Bosan dan jenuh muncul lagi. Hidup kembali ke titik nol. Menjadi terasa biasa-biasa saja. Hampa dan tak lagi memiliki variasi warna.

Berapa kali pun perjalanan wisata berlangsung. Manusia tidak mungkin bisa memisahkan diri dari rasa bosan dan jenuh menghadapi dinamika hidup. Bosan dan jenuh yang seharusnya hanya perasaan biasa, berevolusi menjadi rasa sulit tiada terkira. Gegara ingin mengenyahkan rasa bosan dan jenuh, manusia terpaksa berhadapan dengan perasaan dan keadaan yang sulit. Bosan dan jenuh amatlah merepotkan dan menyulitkan. Liburan—dalam kontkes melakukan perjalanan wisata—menjadi agenda wajib yang tanpanya hidup diasumsikan akan berantakan.

Ah, hanya asumsi saja. Barangkali, rasa bosan dan jenuh yang terus bertumbuh, bukan karena healing-nya yang kurang jauh. Namun, pertama, tersebab rasa syukur kita yang kurang ampuh, kedua, zikir kita yang masih rapuh. Tanpa rasa syukur untuk semua yang Allah anugrahkan, pekerjaan apa pun yang kita jalani, apa pun yang kita miliki, semuanya akan membosankan, menjenuhkan, menyulitkan. Padahal, banyak orang yang bermimpi ingin berada di posisi kita saat ini.

Selanjutnya, zikir yang rapuh dan keropos. Dalam 24 jam pergulatan kita meladeni tantangan untuk tetap bernafas di dunia, Allah hanya diingat ketika salat saja. Itu pun belum tentu, sejak takbiratul ihram hingga salam, seluruh ingatan kita kembali pada-Nya. Kemungkinan salat kita pun hanya gerak ritual saja. Sementara hati dan pikiran masih tersandera oleh urusan-urusan dunia: Pekerjaan yang berat, karir yang monoton, gaji yang kurang, wajah yang pas-pasan, hoki yang tak kunjung datang, kaya yang sebatas impian. Ah, rasanya, hidup gak mengenakkan.

Syukur dan zikir adalah healing terbaik untuk semua yang terasa amat membosankan dan menjenuhkan. Dalam al-Quran, Allah memperingatkan: Wa man a’radla ‘an dzikri fainna lahu ma’isyatan dlanka—dan barang siapa yang berpaling dari berzikir kepada-Ku, maka baginya kehidupan yang sempit. Frasa mai’syatan dlanka memiliki makna general yang luas: Sulit, terhimpit, tidak bahagia, tidak harmonis, depresi, tertekan, bosan dan menjenuhkan. Hidup masih saja membosankan? Syukur diperbanyak. Zikir diperkuat. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. (KPN/Kiki Musthafa)

*Dimuat ulang dari tulisan H. Kiki Syukri Musthafa di Buletin Masjid Agung Kota Tasikmalaya (25/08/2023)