Hidup (Masih) Teras Susah, Bisa Jadi Inilah Penyebabnya

KABARPESANTREN.ID—Jika selama ini hidup terasa sempit dan sulit. Pekerjaan terasa berat dan menjerat. Karir tak juga membaik dan semakin jatuh menukik. Segalanya, hidup begitu menyesakkan dan selalu terasa berjarak jauh dari kebahagiaan. Amat mungkin, salah satu penyebabnya adalah empat perkara tanda celaka yang disampaikan Rasulullah Saw. berikut: ‘Alamatu al-syaqawati arba’atun.

Pertama, nisyanu al-dzunubi al-madliyati wa hiya ‘inda Allahi mahfudhatun—lupa pada dosa yang sudah lalu, padahal di sisi Allah, dosa tersebut tidak mungkin terlupakan. Keburukan apa pun yang kita lakukan di masa lalu, tidak lantas menjadi hilang hanya karena sudah ditinggalkan waktu. Semua abadi selama tidak ditaubati. Menjadi dosa yang tidak terhapuskan.

Bacaan Lainnya

Berusaha melupakan dosa di masa lalu dengan tanpa keinginan menaubatinya, sama hal dengan mempersilakan diri sendiri untuk mengulanginya kembali. Akibatnya, Allah akan menurunkan semua kesulitan dan perasaan tidak bahagia, tujuannya, agar kita sadar dan ingat. Sialnya, bukan sadar dan ingat yang meniba, justru kita semakin lebih gila.

Kedua, wa dzikru al-hasanati al-madliyati wa la yadri aqubilat am ruddat—selalu mengingat kebaikan yang sudah dilakukan di masa lalu, sementara ia tidak tahu apakah kebaikan tersebut diterima oleh Allah atau tidak. Inilah tabiat paling menggelikan yang tersimpan dalam diri kita. Selalu mengingat-ingat  kebaikan yang kita lakukan di masa lalu.

Mengabarkan kembali kebaikan itu kepada orang. Seakan-akan kebaikan itulah momentum terbaik yang tak mungkin terulang—padahal belum tentu Allah suka. Mereka yang demikian itu, biasanya, level kebaikannya tidak pernah beranjak lebih baik, bahkan menurun drastis atau justru lenyap. Inilah yang membuat amalan buruk menjadi mudah dilakukan. Ujungnya, sulit bahagia.

Ketiga, wa al-nadhru ila man fauqahu fi al-dunya—selalu melihat orang yang berada di atasnya terkait urusan duniawi. Sangat kita banget. Mengukur standar duniawi dari apa yang diperoleh orang lain yang levelnya berada di atas kita. Lupa bahwa banyak orang di bawah kita yang pula menginginkan berada di level kita. Lupa pada bersyukur.

Hilangnya rasa syukur inilah yang membuat kita sulit sepanjang waktu. Dihantui oleh ambisi yang menggebu ingin seperti orang lain, tidak sampai-sampai, akhirnya tersiksa. Sementara di sisi lain, sebenarnya posisi kita saat ini sedang berada di level aman dan cukup untuk melahirkan kebahagiaan andai kata disyukuri. Hanya saja, syukur itu lenyap terkubur oleh keinginan sesaat.

Keempat, sebaliknya, wa al-nadhru ila man dunahu fi al-dini—melihat orang yang berada di bawahnya terkait dengan urusan agama. Ini pun sangat kita banget dan sangat kurang bagus. Khas karakter orang-orang pemalas dalam urusan ibadah. Tak ada keinginan menaikkan level ibadahnya menjadi lebih baik, hanya karena melihat masih banyak orang lain yang ibadahnya biasa-biasa saja.

Celakanya, malas dalam menaikkan level ibadah berpotensi menganggap remeh ibadah tersebut. Ibadah menjadi tidak penting, padahal hidup dan mati kita tergantung sebaik dan seburuk apakah ibadah yang kita jalani. Semua tentang kewajiban-kewajiban kita sebagai orang yang dibebani hukum. Mereka yang meremehkan ibadah adalah mereka yang selalu dihinggapi kesulitan sepanjang hidupnya. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.[]

Penulis: Kiki Musthafa