KABARPESANTREN.ID—Salah satu tujuan dirumuskannya hukum Islam adalah untuk menjaga harga diri—hifdhul ‘irdli. Dengan kata lain, formulasi hukum dalam Islam dibentuk agar setiap muslim mampu menjaga harga dirinya. Hanya saja perlu pemahaman yang utuh menyoal harga diri ini sehingga tidak ada persepsi yang keliru dan berujung pada memperjuangkan hal yang sia-sia. Harga diri yang dimaksud dalam maqashid al-syar’iyyah ini merujuk pada kecakapan seseorang mempertahankan status muslim dalam dirinya.
Sederhananya, muslim berarti orang yang tunduk pada hukum Syara’—yakni yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya—al-inqiyadu li al-ahkami al-syar’iyyati. Apabila seorang muslim tidak tunduk pada hukum Syara’ dan semua hal yang disyariatkan dalam al-Quran dan disampaikan dalam hadis Rasulullah Saw., status muslimnya—dalam konteks ketundukannya pada hukum Syara’—tampak samar dan layak dipertanyakan. Bicara harga diri, inilah salah satu indikatornya.
Seseorang menolak ketika diajak shalat, harga dirinya sebagai seorang muslim rusak di saat yang sama. Seseorang melakukan maksiat, harga dirinya hancur karena perbuatannya tersebut. Seseorang berbuat zalim terhadap sesama, harga dirinya ternodai karena ulahnya sendiri. Seseorang menghina kiai yang menasehatinya tentang kebaikan, harga dirinya remuk karena ia berpaling. Seseorang meremehkan amal baik, harga dirinya jatuh seketika itu pula. Kitalah pihak pertama yang justru merusak harga diri kita sendiri.
Karenanya, jika merasa orang lain telah merisak harga diri kita, baiknya kembali terlebih dahulu pada diri sendiri. Lebih lamalah bercermin dan mendikte beberapa hal yang telah dan sedang kita lakukan. Bisa jadi, kita memang pantas mendapatkan hal semenyakitkan itu. Amat mungkin, sebenarnya, justru diri sendirilah yang membuatnya hancur. Diajak baik, enggan. Diajari baik, gengsi. Diberi saran, pergi. Disampaikan ayat-ayat Allah, marah. Lalu, giliran dikatai bebal dan dungu, ngamuk seperti tidak ada hari esok lagi.
Mentalitas muslim dalam diri kita telah runtuh terlebih dahulu dan runtuh pulalah harga diri kita tersebab sikap dan ucap kita sendiri. Harga diri diruntuhkan sendiri, giliran ambruk, menyalahkan orang lain sebagai biang keladi. Padahal, sikap dan ucap yang kita anggap tak mengenakkan dari orang lain untuk kita, bisa jadi adalah peringatan dari Allah karena kita tak sepenuhnya tunduk pada aturan-aturan Syara’. Jangan dulu marah dan dendam. Marah dan dendamlah pada diri sendiri. Sungguh, lucu dan menggelikan sekali diri ini.
Seseorang yang tidak memiliki harga diri adalah mereka yang menolak diajak berkolaborasi membangun kebaikan, keras hati menerima nasehat, meremehkan pengajaran orang alim, menantang saat disampaikan ayat al-Quran dan hadis Nabi, tunduk pada hawa nafsu, pada dendam dan kesombongannya sendiri. Karenanya, harus dicatat bahwa hifdhul ‘irdli—menjaga harga diri—bukan bagian dari mekanisme menutupi bebal dan kerasnya hati dari menerima kebaikan. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.(KPN/Kiki Musthafa)