Haji dan Kisah Musa yang Ibadahnya Dipertanyakan oleh Allah

KABARPESANTREN.ID—Amal saleh tidak hanya dilihat dari kegigihan kita melaksanakan ibadah secara personal (kesalehan individual). Namun, harus pula ditinjau dari upaya merefleksikan kesalehan individual tersebut dalam dimensi sosial (kesalehan sosial). Peduli dan memiliki rasa empati.

Nabiyullah Musa As pernah berdialog dengan Allah Swt perihal kesalehan sosial termaksud.

Bacaan Lainnya

“Musa, kapan kau beribadah untukku?” tanya Allah Swt kepada Nabi Musa As.

“Semua yang aku lakukan, ibadahku, salatku, hanya untuk-Mu, ya Allah,” jawab Musa sambil kebingungan.

Beliau selama ini mengira dan beranggapan bahwa semua ibadahnya untuk Allah Swt semata.

“Tidak Musa,” sergah Allah, “semua yang kau lakukan, semua ibadahmu sesungguhnya untukmu sendiri, semua ibadahmu untuk keselamatanmu sendiri, di dunia dan akherat. Itu semua untukmu, Musa,” Allah Swt melanjutkan.

Musa masih kebingungan.

“Salatmu, membuat engkau terpelihara dari perbuatan keji dan munkar. Maka, salat itu untuk keperluanmu. Zikirmu juga untuk dirimu. Karena Zikir membuat hatimu menjadi tenang. Puasamu itu hanya untukmu saja. Karena puasa melatih diri dan mengekang hawa nafsumu. Kurbanmu berguna menjinakkan nafsumu,” Allah Swt memberi penjelasan.

“Lalu, bagaimana caranya agar ibadahku untuk-Mu, seperti apa ibadah yang untuk-Mu itu, ya Allah?” tanya Nabi Musa, penuh rasa ingin tahu.

“Engkau datang kepada mereka yang lapar, maka di sana Aku ada,” Allah Swt menjawab dan Nabi Musa As terdiam.

Demikianlah dialog antara Nabi Musa dan Tuhannya, Allah Swt. Ibadah sosial adalah ibadah yang justru di sanalah Allah Swt “berada”.

Dari sana kita dapat mengambil sebuah pelajaran penting bahwa Ibadah ritual tidak berujung hanya pada acara ritual an sich, tetapi harus memantul dalam kehidupan sosial.

Ayat, “Salat sesungguhnya mencegah (terjadinya) perbuatan keji dan munkar” sejatinya adalah refleksi sosial dari ritual salat yang seseorang lakukan.

Seseorang belum dikatakan salat jika dalam kehidupan sosial, dia masih melakukan hal-hal keji dan munkar.

Termasuk dalam ibadah haji. Seorang haji belum dikatakan haji jika spirit hajinya belum terefleksi dalam kehidupan sosialnya.  Kecakapan merefleksikan spirit haji dalam kehidupan sosial yang kompleks, menjadi salah satu indikator  mabrurnya ibadah haji seseorang.

Haji mabrur tidak hanya terikat pada ritualitas haji belaka. Dalam konteks yang lebih luas, haji mabrur bahkan dapat diperoleh oleh seseorang yang membatalkan kepergian ibadah hajinya ke Mekkah karena ada tetangga yang membutuhkan pertolongan. Cerita ini sangat masyhur. Dia berikan seluruh ingkos hajinya kepada tetangganya. Dan malaikat memaklumatkannya sebagai “Haji Mabrur” walapun ia tidak hadir Mekkah dan tidak pernah melaksanakan “arbain” di Madinah.

Kisah Uwais al-Qarni adalah contoh penting berikutnya. Ia amat menginspirasi. Sang penghuni langit yang doanya tidak tertolak dan para sahabat pun meminta doa kepadanya. Ia menggendong ibunya dari Yaman hingga Mekkah untuk berhaji. Rasulullah menyebutnya sebagai penghuni langit yang tidak akan tertolak doanya oleh Allah.

Tahun ini, musim haji 2023, mabrurnya haji seseorang dapat terefleksi dari kecakapan sosialnya membantu dan berempati terhadap jamaah yang lain, khususnya jamaah lansia. Baik di satu kloter, rombongan dan tentu yang terdekat adalah satu regu.

Akhirnya, semoga tidak terulang lagi kisah Nabi Musa As pada diri kita: Mementingkan ibadah sendiri dan lalai pada yang lain. Sebaliknya, semoga kesalehan Uwais al-Qarni bersemayam dalam diri kita dan memotivasi jamaah Haji Indonesia lainnya. Amin. Wallahu a’lamu bi al- shawabi. (KPN/Ahmad Wasim)

Mekkah, 21 Juni 2023

 

Penulis: Ahmad Wasim, Ketua Kloter KJT 08 Indramayu
Editor: Kiki Musthafa