KABARPESANTREN.ID—Bukan hanya cinta ibu yang umurnya sepanjang hayat. Namun, cinta ulama kepada umat pun ternyata berlangsung sepanjang masa. Jika ibu melahirkan anak biologis dari rahimnya dengan mengandung 9 bulan yang berat terlebih dahulu. Ulama melahirkan orang-orang baik dari cara ia mendidik dari rahim kesalehannya dengan kesabaran dan ketulusan tanpa tanding. Rasa cinta ibu kepada anaknya. Rasa cinta ulama kepada santri dan umatnya. Nyaris sama. Sama-sama cinta yang bening dan tulus. Sama-sama cinta karena Allah.
Tentu, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membandingkan ibu dan ulama dan konteks siapa yang lebih mulia. Sama sekali bukan. Tidak ada yang bisa menandingi cinta dan mulianya seorang ibu. Demikian hal tidak yang bisa menyamai cinta dan mulianya seorang ulama—yang saleh dan beramal baik berbekal kedalaman ilmunya, al-ladzi ‘amila bi ‘ilmihi. Hanya ikhtiar qiyasi saja, untuk mendeskripsikan betapa cinta ulama tak terdikte oleh waktu. Tak terbatas oleh masa. Tak terkekang oleh kepentingan dunia semata.
Secara terminologis, ulama berarti orang-orang dengan kecapakan ilmu agama yang mapan dan memiliki kesalehan serta ketakwaan yang kuat kepada Allah. Ilmu saja belum cukup, harus disertai dengan kesalehan dan ketakwaan. Saleh berarti mempunyai tabiat yang luhur. Baik saleh secara individual, terlebih lagi saleh secara sosial. Secara individu ia adalah orang baik. Secara sosial, interaksinya dengan sesama tidak bertolak dari kaidah etik, norma dan moral. Ulama adalah bagian dari personifikasi manusia ideal menurut al-Quran—khairu ummah.
Karenanya, apabila ada seorang ulama—dalam konteks mempunyai pengetahuan dan pemahaman agama yang luas—tetapi tidak memiliki etiket yang bagus, ia belum layak dikatakan ulama. Kombinasi ilmu dan amal adalah indikator yang jelas perihal layak-tidaknya seseorang dikatakan ulama. Harus berilmu luas dan berakhlak baik. Ilmu yang luas dan akhlak yang baik adalah fondasi yang kokoh dari takwanya seseorang kepada Allah. Konon, ilmu tanpa amal, seperti tumbuhan tak berdaun. Amal tanpa ilmu, seperti pohon tanpa akar. Ilmu dan amal tanpa takwa seperti bebijian yang tidak bertunas.
Secara tipologis, ada dua kategori ulama. Pertama, ulama al-‘amilin, yakni ulama saleh yang semua tindak-tanduknya adalah representasi dari kedalaman ilmu dan ketundukannya kepada Allah. Penuh rasa takut kepada Allah. Al-Quran menyebutnya bahwa di antara hamba-hamba Allah yang paling takut kepada-Nya adalah seorang ulama. Pengamalan ilmu yang dilakukan ulama merupakan bagian dari ekspresi ketakutannya kepada Allah. Ia sadar ilmu yang ia miliki semata-mata titipan dari Allah yang harus diamalkannya. Takut andai terabaikan.
Sementara itu, orang-orang yang takut kepada Allah, memiliki beberapa indikator. Menurut al-Faqih Abu al-Laits, terdapat beberapa indikator seseorang benar-benar takut kepada Allah, di antaranya: Menjaga lisan dari berbohong, menggibah dan berkata-kata yang tidak ada manfaatnya. Sebaliknya, menyibukkan lisan dengan berzikir kepada Allah dan membaca al-Quran. Lalu, perihal menjaga perut dari terisi oleh barang halal yang banyak—karena terindikasi serakah. Sebaliknya, mengisi perut hanya sebatas menutup rasa lapar saja.
Selanjutnya, masih menguraikan pandangan Abu al-Laits: Perihal menjaga mata dan telinga dari melihat dan mendengar hal yang diharamkan oleh Allah. Tidak terobsesi pada urusan dunia yang kemudian menghalalkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Kemudian, perihal menjaga kedua tangan dan kaki agar tidak digunakan untuk hal-hal yang Allah benci. Menjaga hati dari dendam, hasud dan permusuhan. Menjaga ketaatannya kepada Allah dengan senantiasa ikhlas dalam ibadah dan beramal baik.
Kedua, ulama al-su`u, yakni ulama yang buruk. Kriteria ulama yang buruk ini, tentu saja, adalah antitesis dari ulama al-‘amilin. Ulama dalam tipologi ini, tak bisa menjaga lisan, tangan, kaki, mata, telinga, perut dan ketaataanya kepada Allah. Tergoda oleh ambisi duniawi dan berpaling dari Allah. Ilmu saja tidak cukup. Harus kuat menahan diri dari halal dan haramnya perkara dunia yang sengaja Allah jadikan ujian untuk mengukur kapasitas ketakwaannya.
Berangkat dari dua tipologi di atas. Ulama dengan rasa cinta sepanjang masa terhadap murid dan umat adalah mereka yang ilmunya mapan, akhlaknya bagus, takwanya kuat. Ia membimbing umat hanya karena Allah bukan karena popularitas, eksistensi dan berharap apresiasi publik, apalagi berorientasi uang. Sama sekali tidak. Ia berjuang untuk mencerahkan dan menjadi cahaya bagi umat di tengah mendungnya langit moralitas yang gelap. Menjelang kontestasi politik 2024, Indonesia butuh ulama seperti itu. Allhumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.[]