KABARPESANTREN.ID—“Lailatul Qadr itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan. Sejahteralah (malam) itu sampai terbit fajar.” (QS. Al Qadr: 3-5)
Setiap kali masuk sepuluh malam terakhir bulan Ramadan, umat Islam diingatkan dengan kehadiran Lailatul Qadr. Tidak hanya malam harinya, siangnya pun mereka tampak bersemangat untuk beribadah. Tumpah ruah untuk beriktikaf, qiyamullail, tilawah al-Qur’an, dan ibadah-ibadah lainnya.
Magnet Lailatul Qadr
Tidak heran dengan fenomena tersebut. Lailatul Qadr memang memiliki magnet yang sangat besar untuk menarik umat ke dalam dimensi spritual dan transendental yang mendalam. Keyakinan bahwa nilai ibadah pada malam Qadr tersebut nilainya lebih baik dari seribu bulan (sekitar 83 tahun 4 bulan) tidak tergoyahkan. Terpatri dalam hati dan menjadi dogma dalam jiwa. Sehingga wajar jika mereka berduyun-duyun ke masjid untuk berusaha mendapatkan anugerah Lailatul Qadr di sepuluh malam terakhir bulan Ramadan.
Demi memenuhi dahaga ruhani ini, diantaranya ada yang memilih cuti kerja. Ada yang menginap di masjid. Bahkan ada yang rela mengeluarkan biaya pendaftaran ke panitia untuk mendapatkan fasilitas selama iktikaf (sahur, buka, modul kajian, dll.). Terlepas dari motivasi masing-masing, berdasarkan uraian di atas, semuanya wajar-wajar saja.
Fenomena yang berbeda tampak di kebanyakan masjid atau mushala. Di sini, 10 malam terakhir Ramadan tampak lengang dari jamaah, tidak seramai di awal permulaan malam. Mereka tidak lagi berdesakan untuk mendapatkan shaf sampai belakang. Kini, di malam-malam akhir tersebut, masjid kembali sepi ditinggal jamaah yang mudik dan pulang. Belum lagi yang letih dan kecapaian akibat membuat kue adonan dan berkeliling di pasar untuk persiapan lebaran. Semuanya menambah kemalasan untuk giat di sepuluh malam-malam yang penuh kemuliaan.
Memburu dan Menunggu
Ketika beberapa orang mencari bahkan berburu Lailatul Qadr, di lain pihak ada orang yang dengan santai menunggu Lailatul Qadr.
Orang-orang yang mencari Lailatul Qadr adalah mereka yang menyibukkan diri beriktikaf dan qiyamullail di sepuluh terakhir bulan Ramadan. Di antaranya bahkan rela untuk tidak tidur di malam-malam tersebut. Terutama pada malam tanggal ganjil: Malam 21, 23, 25, 27, dan 29 Ramadan. Mereka sangat giat mengisinya dengan berbagai macam ibadah. Tilawah al-Qur’an, berzikir, ta’lim, iktikaf, shalat malam, dsb.
Di kalangan ini, ada yang terus menerus mengisi malam-malam tersebut sampai akhir Ramadan, ada pula yang ‘ge-er’. Kalangan yang ‘ge-er’ bahkan mengklaim telah mendapati Lailatul Qadr di malam tertentu. Kemudian ia menyampaikan pada orang lain. Namun setelah itu, ia merasa cukup dan tidak lagi melanjutkan qiyamullail-nya. Baginya Lailatul Qadr adalah segalanya. Kalau sudah mendapatinya maka tidak perlu lagi mencari dan memburunya.
Adapun orang yang menanti Lailatul Qadr, mereka dengan santai menunggunya. Semua sudah dipersiapkan sejak tangal 1 Ramadan untuk menjemputnya. Mereka beribadah dengan istiqamah. Setiap malam iktikaf. Setiap saat beribadah. Di Masjid, di tempat kerja, dan di perjalanan, senantiasa ucapan dan perilakunya mencerminkan ibadah. Baginya, lailatul qadar adalah bonus dan anugerah. Allah SWT melimpahkan keutamaan ini bagi para hamba yang terus menerus mengharap rida dan ampunan-Nya.
Karenanya, Nabi Muhammad SAW dalam Hadis Aisyah RA saat memasuki sepuluh terakhir bulan Ramadan, menghidupkan malam hari untuk ibadah, membangunkan istri-istri atau keluarganya, dan mengencangkan ikat pinggangnya. Hal ini bukan berarti beliau berleha-leha di malam-malam sebelumnya, melainkan sebagai motivasi untuk semakin giat di penghujung Ramadan. Sebab, banyak orang yang semangat di awal namun kendor di akhir. Dengan motivasi Lailatul Qadr, kaum muslimin dapat istiqamah.
Maka wajar apabila ada yang berasumsi bahwa salah satu indikator seseorang dianugerahi (bukan mendapatkan) bonus Lailatul Qadr adalah konsistensi amaliah yang terjaga pascaRamadan. Inilah buah istiqamah. Wallahu a’lam. (KPN)