Bersabar Menjadi Mabrur

KABARPESANTREN.ID—Suatu ketika Rasulullah Saw ditanya seorang sahabat.

Ayyul a’mali khairun?” tanya sahabat, “Apakah amalan terbaik itu?”

Bacaan Lainnya

Rasul menjawab, “Imanun billahi wa rasulihi—beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.”

Wa ma dza—lantas apa lagi?” tanya sahabat untuk kali kedua.

Jihadun fi sabilillah—berjihad di jalan Allah,” jawab Rasul kemudian.

Wa ma dza—lantas apa lagi?” sahabat belum puas dengan jawaban pertama.

Hajjun mabrurun—haji mabrur,” pungkas Rasul menjawab pertanyaan terakhir.

Hal yang menarik dari hadis di atas adalah cara Rasul menempatkan haji mabrur  setelah beriman dan jihad di jalan Allah.

Secara tidak langsung, Rasul mengisyaratkan bahwa haji mabrur adalah kombinasi dari aktualisasi iman dan jihad. Tanpa keduanya. Haji mabrur hanya sebatas angan-angan saja.

Tipologi iman dalam pandangan al-Ghazali di Ihya Ulumuddin, memiliki relevansi yang erat dengan konteks berhaji kita hari ini. Menurut al-Ghazali, al-imanu nishfani, nishfu-shabri, wa nishfusy-syukri-–iman terbentuk oleh dua bagian, bagian pertama adalah sabar, sementara bagian berikutnya adalah syukur.

Haji tahun ini, dari jumlah 221.000 jamaah haji Indonesia, dengan 30% didominsasi lansia, merupakan musim haji yang cukup berat. Untuk sampai pada mabrur bersama, dibutuhkan sinergi yang erat antar-petugas dan jamaah. Saling membantu dan menumbuhkan empati satu sama lain.

Tentu saja, dengan terus memupuk rasa sabar dan jihad melawan ego kedirian kita, sebagai aktualisasi keimanan kita kepada Allah dan Rasul-Nya.

Bisa jadi, mabrurnya haji bukan karena ibadah yang yang kita jalani, tetapi karena kesabaran tanpa ujung yang kita pertahankan saat menghadapi dinamika hari ini. (KPN/Kiki Syukri Musthafa, Petugas Haji Daerah Jawa Barat 2023).

*Disampaikan pada saat khutbah Jumat di masjid hotel Safwat al-Khair Mekkah al-Mukarramah, 23 Juni 2023.