KABARPESANTREN.ID—Catatan ini saya tulis enam hari sebelum wukuf di Arafah. Dalam rilis pemerintah Saudi, seperti dilaporkan Inside Haramain, tanggal 9 Dzulhijjah jatuh pada hari Selasa tanggal 27 Juni 2023. Berbeda satu hari dengan di Indonesia yang menetapkan hari wukuf di Arafah jatuh pada tanggal 28 Juni 2023. Selisih satu hari saja. Amat tipis.
Satu pekan menjelang wukuf, sebagai puncak ritualitas haji, jamaah dituntut untuk menghemat energi. Menjaga kesehatan dan memastikan tubuh tetap bugar. Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, yang juga ikut meninjau langsung persiapan wukuf dan kondisi jamaah di Mekkah, mengingatkan agar jamaah jangan terlalu memorsir tenaga dengan memperbanyak ibadah sunah. Dikhawatirkan, tiba ibadah wajib harus dilaksakan, terhambat karena kesehatan dan kondisi tubuh yang tidak prima, disebabkan terlalu sibuk mengejar ibadah sunah sebelumnya.
Memaksimalkan persiapan menuju wukuf, merupakan bagian dari ikhtiar menjemput kemabruran haji karena satu indikator sahnya haji sudah terpenuhi. Namun, terlepas dari perkara wukuf, mabrurnya haji seseorang dapat pula diperoleh melalui variabel-variabel lainnya. Benar adanya bahwa perkara mabrur ini amatlah privat. Hanya Allah Yang Maha Tahu perihal mabrur-tidaknya haji seseorang. Akan tetapi, banyak indikator tentang itu yang bisa kita diskusikan, tentunya di luar ritual ibadah yang menjadi rukun haji.
Tahun 2023 adalah musim haji yang cukup berat. Setelah dua tahun dibatasi karena pandemi covid-19. Kuota haji kembali berada di angka normal. Hanya saja, dari 221.000 jamaah haji Indonesia, 30 persennya didominasi oleh lansia—yang menjadi prioritas pemerintah untuk diberangkatkan haji tahun ini. Salah satu pertimbangannya adalah usia mereka yang dikhawatirkan tidak memungkinkan untuk berhaji di tahun berikutnya apabila keberangkatan mereka harus ditunda.
Persentase kehadiran lansia yang nyaris mencapai setengah dari kuantitas jamaah secara keseluruhan, menjadi berkah dan ujian tersendiri bagi jamaah yang lain—tentu saja bagi petugas haji. Menebar empati dan menebalkan kesabaran menjadi dua hal yang amat krusial. Bisa jadi, dua hal itu, adalah jalan lain menuju mabrur, yang sayangnya, justru diabaikan oleh sebagian jamaah.
“Saya juga bayar. Nunggu antrian berangkat haji cukup lama. Sekarang di sini harus sekamar dengan lansia. Harus ngurus keperluan mereka. Menyiapkan makan. Memandikan. Mencuci baju mereka. Mana keluarganya. Kenapa dibebankan ke saya?” kata-kata ini pernah saya dengar dari seorang jamaah yang tampak frustrasi. Di hotel pemondokan, ia ditempatkan satu kamar dengan lansia yang tidak memiliki keluarga pendamping.
Padahal, andai saja berani untuk bersabar dan tulus. Amat mungkin, jamaah yang sekamar dengan lansia tersebut akan mendapatkan tiga pahala haji: Pahala haji dari dirinya sendiri, pahala haji dari lansia yang ia rawat dan pahala haji dari kesabaran yang ia pertahankan sekuat hati. Aspek demikianlah yang mungkin tanpa ia sadari justru akan mengantarkannya pada mabrurnya haji.
Pada kesempatan lain, saya menemukan cerita yang berbeda. Ketika menemani dokter kloter melakukan visitasi, saya berjumpa dengan beberapa jamaah yang tulus merawat lansia yang ditempatkan satu kamar dengannya. Bahkan, ada yang berlainan kamar, tetapi sengaja ditempatkan di kamarnya agar ia bisa merawatnya secara langsung. Bertugas mengawal jamaah sejak dari embarkasi, membuat saya merasa tidak berarti apa-apa dibanding mereka.
Melaksanakan semua ritualitas ibadah sejak dari Madinah sampai Mekkah, tentulah menjadi mimpi bagi setiap jamaah haji. Momentum yang diidam-idamkan sejak lama. Bersabar bertahun-tahun menunggu kesempatan itu tiba. Namun, siapa mengira ketika momentum itu datang, mereka harus mengurungkan sebagian mimpinya karena tergerak untuk merawat jamaah lansia. Berat, tetapi berusaha tulus dengan meniatkan semuanya sebagai bagian dari ritualitas ibadah di tanah suci yang harus ia jalani.
“Saat jamaah yang lain sibuk dengan mengejar arbain (salat berjamaah 40 waktu di Masjid Nabawi, saat di Madinah), saya harus menemai lansia di kamar pemondokan yang kesehatannya sedang menurun,” ucap seorang jamaah mengenang hari-hari terberatnya saat di Madinah. Ia berusaha ikhlas karena Allah. Arbain adalah sunah, sementara menolong orang lain dalam kondisi mampu hukumnya adalah wajib.
“Sebenarnya saya juga ingin seperti jamaah yang lain. Setiap hari berangkat ke Haram (baca: Masjidil Haram) untuk salat berjamaah di dekat Kabah. Ingin pula saya umrah sunah berkali-kali. Namun, saya memilih di sini. Di kamar ini. Merawat dua lansia yang membutuhkan pertolongan saya. Saya tulus karena Allah. Mungkin inilah takdir berhaji saya dan semoga Allah senantiasa menguatkan saya,” ucap seorang jamaah lainnya yang membuat saya bagaikan serpihan debu yang tersapu angin di tengah teriknya langit Saudi saat ini.
Ada banyak jalan menuju mabrur. Semua aktivitas kebaikan yang diniatkan sebagai ibadah akan menjadi penunjang kemabruran haji jamaah. Disadari atau tidak. Mulai dari hal terkecil, semisal, menyedekahkan senyum dan menebarkan salam, hingga hal besar, seperti mendorong kursi roda jamaah lansia saat melakukan ritualitas terkait dengan sah-tidaknya haji seseorang dalam perspektif fiqh. Jamaah bisa memilih. Semua jalan sudah Allah sediakan.
Demikianlah, bisa jadi, mabrurnya haji kita tidak ditentukan oleh ibadah kita, tetapi oleh kesabaran dan ketulusan kita menolong sesama. Untuk yang sedang melakukan ibadah haji di tanah suci, semoga Allah senantiasa memudahkan semua prosesnya dan mendapat predikat haji yang mabrur. Untuk yang ada di tanah air dan belum berkesempatan berangkat haji, semoga Allah segera memberangkatkan. Salam hangat dari Makkah al-Mukarramah. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. (KPN/Kiki Syukri Musthafa, Petugas Haji Daerah Jawa Barat 2023)
*Dimuat ulang dari edisi cetak di Buletin Masjid Agung Kota Tasikmalaya (Jumat, 23 Juni 2023)