Sepakbola Harus Hidup Tanpa Harus Ada yang Mati

Gambar: makassar.tribunnews.com

KABARPESANTREN.ID—Tepat sehabis peluit akhir berbunyi. Beberapa pemain Persebaya berlari menepi pinggir lapangan. Skor akhir masih 2-3. Persebaya menang di kandang Arema. Setidaknya, itu terakhir yang saya lihat di layar kaca.

Sebelum beristirahat. Berita tentang meninggalnya dua Aremania. Sempat terbaca di salah satu akun suporter. Menyesakkan. Ternyata sepakbola masih bertumbal nyawa. Entah sampai kapan. Saya tidur pulas memeluk rasa kecewa.

Bacaan Lainnya

Sampai di pagi yang hening. Di dalam kamar mandi. Linimasa media sosial meledak. Nyaris semua kanal media daring mengangkat topik yang sama. Bergidik dan ngeri rasanya. Sempat tertegun dan tak percaya.

Berharap hanya hoaks. Kerjaan tak beradab dari sebagian oknum suporter. Menyebar berita bohong untuk menambah keruh hasil akhir pertandingan. Mengingat rivalitas Persebaya dan Arema. Membara tak kunjung reda.

Ternyata serius. Sebanyak 129 nyawa anak manusia hilang dan 180 luka-luka. Ini bukan sepakbola. Bahkan olahraga adu jotos pun tak sampai harus memuntahkan petaka sepahit lenyapnya nyawa manusia. Sepakbola tidak sebarbar itu.

Tragedi Kanjuruhan pada Sabtu (01/10/2022) malam tercatat sebagai tragedi sepakbola terbesar kedua di dunia. Bayangkan, 129 nyawa manusia menjadi korban (per 02/10/2022, pukul 10.36 bertambah menjadi 130 korban nyawa). Kenyataan yang melebihi semua kata tentang gila dan edan.

Tak ada maaf untuk hilangnya nyawa. PT. LIB harus segera mengevaluasi penyelenggaraan LIGA 1 atau atas nama kemanusiaan: Hentikan liga selama satu musim kompetisi. Saya suporter yang waras: Saya ikhlas.

Hentikan segera untuk sementara. Lupakan kerugian materi, sponsorship, aspek bisnis dan kapitalisasi sepakola. Tanggung dan evaluasi bersama. Sungguh, tak ada nominal uang yang setara dengan nyawa manusia.

Semua komponen yang ikut terlibat dalam terselenggaranya liga, berbenah bersama. Klub dan panitia penyelenggara. Suporter dan sponsor. PT. LIB dan operator. Aparat dan unsur pemerintahan terkait. Semua tanpa terkecuali.

Sebagai hiburan rakyat, sepakbola semestinya menghibur. Tidak lantas menjadi penggelar karpet merah untuk malaikat Izrail datang menuntas tugas dengan mudah. Stadion bukan kuburan. Stadion adalah panggung kebahagiaan.

Sungguh, di tengah sulitnya masyarakat menyejahterakan hidup di tanah yang subur dan makmur ini, sepakbola adalah obat. Karenanya, sepakbola harus tetap hidup, tetapi sekali lagi, tanpa harus ada yang mati. Lagi dan lagi. (KPN/Kiki Musthafa)