KABARPESANTREN.ID—Banyak jalan menuju Tuhan. Tentu, yang dimaksud adalah Allah, Tuhan Yang Maha Satu. Salah satunya adalah dengan thariqah dzikir. Mencari amal shaleh yang mampu dikerjakan dan mengamalkannya dengan istiqomah: I’malu biqadri amanatikum.
Guru-guru dan kiai di pesantren selalu menekankan perihal thoriqoh aing mah ngaji. Mereka mencari jalur lain menuju Allah. Artinya, jadilah orang yang pandai, pintar dan berilmu. Tersebab ilmulah kita memiliki tujuan yang sama dengan para salikin.
Menurut Imam Syafi’i, satu dari tiga wasilah yang berhubungan dengan ilmu ialah: Man arada al-akhirata fa’alaihi bi al-‘ilmi. Dapat dipertegas dengan: Man arada Allaha fa’alaihi bi al-‘ilmi. Tetaplah menjadi pencari ilmu dan niatkan ilmu yang kita cari sebagai anak tangga yang akan menyampaikan kita kepada Hadratul Qudsiyah.
Banyak rintangan akan menghadang, semisal belum menemukan mursyid yang tepat. Jika pun ternyada ada, terkadang justru tertahan oleh udzur tertentu: Masalah materi, jarak dan keadaan yang memaksa kita terjauh dari ilmu. Sekalipun demikian, tetaplah membaca, mengkaji dan tak henti muthala’ah ilmu, ikhtiar demikian sudahlah cukup untuk membangun tangga termaksud.
Dalam konsep tajalli dzat semua akan menemukan penampakan yang berbeda dari rasa ketuhanan, tergantung dari apa yang dijalankan dan diamalkan. Seseorang akan sampai melalui jalan amal shaleh yang sering didawamkannya. Dengannya, Allah akan mendatangkan rasa cinta-Nya. Amal sekecil apa pun yang dilakukan berulang-ulang akan mendatangkan rasa cinta kepada Allah dan Allah pun akan balas mencintainya—Adwamuha wa in qalla.
Tentang mencari Tuhan, Syekh Abdul Qadir al-Jilani menyebutkan bahwa jalan atau sebab wushul kepada Allah itu ada empat macam, salah satunya, memperbanyak dzikir dan memperbanyak mencari ilmu. Dalam kitab Kifayatu al-Atqiya dijelaskan: Fa’alaihi tazyinun lidhahirihi al-jali. Ya, semata-mata untuk membangun tangga atau bahkan mendorong hati dan ruh untuk berjalan.
Pada akhirnya, apa pun perjalanannya dan bagaimana pun cara seseorang berjalan, ia akan sampai ke tujuan yang sama, yakni Allah. Karenanya, tidaklah terpuji jika kemudian ada upaya-upaya menista langkah orang lain dalam mencari Allah. Semisal, dikarenakan jalan yang ditempuh berbeda dan rute yang diambilnya tak sama dengan yang selama ini ditempuhnya. Perbedaan adalah rahmat, syukuri dan jadikan motivasi untuk memperbaiki diri dalam konteks fastabiqu al-khairat.
Dengan demikian, diluar kewajiban menyampaikan dakwah, daripada sibuk menyalahkan cara orang lain mencari Allah—selagi tidak menyalahi akidah—sibuk sajalah dengan menyalehkan diri sendiri. Sadar diri dan cakap mengevaluasi diri sendiri. Jika sampai pada fase kammil wa al-mukammil atau setidaknya mampu meminimalisir keburukan dalam diri, dengan sendirinya akan menjadi inspirasi banyak orang untuk melakukan kebaikan yang sama.
Akhirnya, jalan menuju Tuhan selalu terbuka lebar bagi siapa pun yang menamakan dirinya para pencari. Di antaranya dengan mengaji sebagai salah satu thariqah yang diambil kaum santri. Mengaji adalah zikir yang digerakkan. Semangat pencarian itu harus disertai dengan etiket yang luhur dan akhlak yang terpuji. Cara demikianlah, model mencari Allah yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw.[]