Istiqamah: Berat yang Sebenarnya Mudah

Ilustrasi: mujahidinkekasihallah.blogspot.com

KABARPESANTREN.ID—Ibadah kita, salah satunya, ditentukan oleh kuat-tidaknya istiqamah dalam ibadah tersebut. Konsisten ataukah tidak. Tulus ataukah riya. Berorientasi Allah ataukah berharap apresiasi dari manusia. Adanya ke-istiqamah-an dalam ibadah mengindikasikan bahwa ibadah tersebut diterima oleh Allah. Sebaliknya, tidak ada konsistensi tersebut, menandakan bahwa ibadah yang kita lakukan hanya sebatas ritualitas belaka. Kosong tanpa nilai. Hampa tanpa makna.

Istiqamah dalam ibadah amat bergantung pada kuat-lemahnya iman dalam diri kita. Fakta bahwa iman itu dapat bertambah dan berkurang—menjadi alasan betapa istiqamah amatlah sulit. Dalam hal ini, iman tidak boleh berkurang. Harus total dan utuh. Jika berkurang berarti ada syak, yakni keraguan. Jika ada keraguan maka sama hal dengan tidak beriman. Hanya saja, ada kondisi dimana kita mudah bermaksiat kepada Allah—seakan-akan iman berkurang.

Bacaan Lainnya

Semisal, ketika sedang dalam kondisi jatuh dan terpuruk atau dalam posisi lemah karena tekanan hidup. Jauh dari orang-orang saleh yang dapat memberi nasihat. Jauh pula dari majelis ilmu yang dapat memberi pencerahan. Berjarak dari kemungkinan tetap mengingat Allah dalam kondisi apa pun. Iman melemah—artinya mudah berbuat maksiat—dan kemudian menghalalkan banyak cara. Dalam posisi demikian, istiqamah dalam ibadah menjadi semakin berat.

Akan tetapi, sejatinya istiqamah amatlah mudah. Beberapa syarat berikut adalah kuncinya. Pertama, hifdhul-lisani ‘anil-ghibati, menjaga lisan dari ghibah, mengucapkan dan membicarakan keburukan orang lain. Mereka yang menghindarkan diri dari menggunjing orang lain, akan lebih fokus pada diri sendiri. Selalu fokus pada diri sendiri itulah yang akan membuatnya tak pernah absen mengevaluasi dan memperbaiki amalan ibadahnya.

Kedua, al-ijtinabu an su`idh-dhanni, menjauhkan diri dari berburuk sangka terhadap sesama. Mereka yang ibadahnya istiqamah, selalu berusaha membuang jauh pikiran buruk tentang orang lain. Tak ada waktu untuk berprasangka buruk. Selalu ada celah untuk menyisipkan sangka baik terhadap orang lain yang membuatnya tetap bersahabat dengan semua orang. Relasi dan interaksi sosialnya dengan sesama berjalan sebaik adanya. Pikirannya bersih. Ibadahnya rapi.

Ketiga, al-ijtinabu anis-sukhriyyati, menjauhkan diri dari menghina dina orang lain. Tidak pernah merasa lebih baik dari orang lain. Selalu menghargai keberadaan dan eksistensi orang lain dalam berbuat kebaikan. Hilang perasaan terlampaui karena dimotivasi oleh hawa nafsu yang gelap dan membutakan. Saat orang lain tampak lebih baik, ia bercermin dan belajar dari kebaikannya. Saat orang lain terlihat buruk, ia berusaha menyadari bahwa dirinya bisa lebih buruk dari itu.

Keempat, ghaddul-bashari ‘anil-maharami, menutup pandangan dari hal-hal yang haram. Tak berhasrat dan berkeinginan melakukan sesuatu yang diharamkan oleh Allah. Tak pula berharsat memakan apa saja yang jelas-jelas hukumnya haram dan tidak diperbolehkan oleh Syara’. Matanya tertutup dari melihat hal yang tak layak dilihat. Hati dan pikirannya terkunci dari memikirkan hal-hal yang tidak bermanfaat. Mereka yang istiqamah ibadahnya, senantiasa demikian.

Kelima, shidqul-lisani, benar perkataanya. Tidak pernah berbohong. Ia mengharamkan dirinya untuk mengatakan hal-hal yang tidak sesuai dengan kenyataanya. Jujur dalam banyak kondisi. Ketika ia dalam keadaan mudah, ia jujur sejujur-jujurnya. Ketika ia dalam keadaan sulit, tetap jujur sejujur-jujurnya. Sekalipun pahit dan sakit, hal benar ia katakana benar, hal buruk ia sampaikan sebagai hal buruk. Tidak ada yang dimanipulasi. Termasuk ibadahnya. Hanya untuk Allah semata. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. (KPN/Kiki Musthafa)