Belajar dari Isra dan Mikraj Rasul

Foto: kabarpesantren.id

KABARPESANTREN.ID—Melihat beberapa riwayat tentang Isra dan Mikraj-nya Rasulullah Saw, salah satu alasan Allah memperjalankan Rasul pada peristiwa agung tersebut adalah sebagai pelipur lara. Kala itu, dua orang yang amat beliau cintai wafat, yakni Sayyidah Khadijah (istri Rasul) dan Abu Thalib (paman Rasul).

Perjalanan Isra dan Mikraj-nya Rasul terbagi pada dua fase. Pertama, perjalanan dari Masjid al-Haram di Mekkah menuju Masjid al-Aqsha di Palestina. Kedua, perjalanan Rasul dari Masjid al-Aqsha di Palestina menuju Sidratil Muntaha.

Bacaan Lainnya

Fase pertama adalah perjalanan darat, horizontal, membentang di atas  permukaan bumi. Sementara itu, fase kedua adalah perjalanan langit, vertikal, tegak lurus dari darat ke langit. Dari kedua fase perjalanan Isra dan Mikraj-nya Rasul kita belajar banyak hal.

Ketika perasaan sulit dan sedih datang karena kehilangan dan lain hal, penawarnya adalah meng-isra-kan diri. Memperbaiki hubungan horizontal kita dengan sesama—hablu min al-nas. Allah akan memudahkan urusan seseorang yang berkenan pula memudahkan urusan sesamanya.

Pertebal empati. Tebar sedekah. Saling merangkul saat jatuh. Saling menggamit saat berdiri. Berjalan seiringan untuk sukses bersama di dunia—sebagai bekal menuju akhirat kelak. Tidak ada sulit dan sedih jika dilewati bersama. Ini fakta dan silakan dicoba.

Selanjutnya, perbaiki pula hubungan vertikal kita dengan Allah—hablu min Allah. Setelah hubungan dengan sesama membaik, hubungan dengan Allah harus lebih baik. Allah akan memudahkan urusan hamba-Nya yang senantiasa memudahkan dirinya untuk taat kepada-Nya.

Shalat tepat waktu, tahajud tanpa ngantuk, shaum Senin-Kamis tanpa absen, zikir tanpa usai, hadir di majelis ilmu tanpa bosan, beramal saleh tanpa putus, saling berwasiat dalam kebenaran, kesabaran dan bersandar sepenuhnya kepada Allah. Jika Allah satu-satunya dalam hidup, tidak ada sulit dan sedih yang terasakan. (KPN/Kiki Musthafa)

 

 

Penulis: Kiki Musthafa