KABARPESANTREN.ID—Bertamu ke tempat orang lain—baik itu rumah, kantor, lembaga dan lainnya—tampak sebagai hal yang biasa saja. Lumrah dalam kehidupan sosial-bermasyarakat. Lazimnya demikian. Motifnya beragam. Urusan keluarga, perkara bisnis, masalah pekerjaan atau sebatas mengobrol saja. Namun, sekalipun demikian, aktivitas bertamu dalam Islam bukanlah hal yang sederhana. Ada kode etik khusus yang harus dijaga oleh seorang muslim dalam hal bertamu dan menerima tamu.
Bertamu—terlepas dari apa pun tujuannya dan tentu adalah hal yang baik—merupakan bagian penting dari ikhtiar memelihara silaturahmi. Sementara itu, memelihara silaturahmi hukumnya wajib yang menjadi faktor penting terbangunnya ukhuwah yang kokoh. Puncaknya, kokohnya ukhuwah menjadi salah satu elemen penentu sukses-tidaknya dakwah Islam di masyarakat. Hal besar bernama dakwah itu, mulanya, ditentukan oleh aktivitas sederhana yang bernama bertamu.
Mencapai harmoni dalam kehidupan sosial, tak mungkin terjadi andai masyarakat tak pernah terlibat dalam aktivitas bertamu. Baik itu mengunjungi tempat orang lain dan berperan sebagai tamu atau menjadi tuan rumah yang harus menghormati tamu. Keduanya harus sadar peran dan beretika. Tamu jangan menjadi madarat bagi tuan rumah. Sebaliknya, tuan rumah jangan menjadikan rumah sebagai neraka bagi tamunya. Harus saling menjaga, memberi kebaikan dan kebermanfaatan.
Bagi seorang tamu, Islam punya kode etik tersendiri. Salah satunya, disampaikan dalam sebuah hadis bahwa batasan seseorang bertamu adalah tiga hari—al-dliyafatu tsalatsatu ayyamin. Batas maksimal 3 x 24 jam tersebut semata-mata, bukan untuk membatasi seseorang bertamu apalagi dengan membawa banyak kebaikan bagi tuan rumah. Namun, ditujukan untuk menjaga privasi dan kepentingan tuan rumah agar tidak terganggu dan terbebani oleh tamu. Jika butuh durasi lebih, tentulah kerelaan tuan rumah adalah penentunya.
Selanjutnya, bagi tuan rumah, Islam pun sama punya kode etik khusus. Tuan rumah wajib memuliakan tamu. Konon, tamu adalah raja. Harus dilayani dan dipenuhi kebutuhannya. Tuan rumah harus menjamin rasa nyaman dan aman untuk tamunya. Tentu yang dimaksud adalah tamu yang datang untuk kepentingan yang baik dan tidak hadir untuk memberi madarat dan membawa bahaya. Karenanya, kriteria tuan rumah yang baik adalah yang mampu menjamu tamu dengan kebaikan yang lebih baik dari yang dibawa oleh tamunya tersebut.
“Man akramadl-dlaifa faqad akramani, wa man akramani faqad akramAllaha ta’ala. Wa man abghadladl-dlaifa faqad abghadlani, wa man abghadlani faqad abghadlAllaha ta’ala—Barangsiapa yang memuliakan tamu, ia benar-benar memuliakanku, dan barang siapa yang memuliakanku, ia benar-benar memuliakan Allah ta’ala. Barang siapa yang membenci tamu, ia benar-benar membenciku, dan barang siapa yang membenciku, ia benar-benar membenci Allah ta’ala,” sabda Rasulullah Saw dalam sebuah hadis.
Hadis tersebut memberikan atensi khusus bahwa memuliakan tamu amatlah penting. Sampai-sampai Rasul menyandingkan pemuliaan terhadap tamu, sama hal dengan memuliakannya dan puncaknya adalah memuliakan Allah. Hal ini mengindikasikan bahwa memuliakan tamu adalah amalan yang mulia. Karenanya dalam lain disampaikan sebagai indikator sempurna dan tidaknya iman seseorang—man kana yu`minu billahi waly aumil akhiri falyukrim dlaifah, sesiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tamu. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. (KPN/Kiki Musthafa)