KABARPESANTREN.ID—Ketika dititipi rezeki lebih oleh Allah, kita memiliki otoritas penuh terhadap rezeki tersebut. Kita mempunyai hak untuk menggunakan dan memanfaatkannya dengan cara yang halal dan tidak berlebihan.
Mengumbar nikmat yang kita terima secara berlebihan, berpotensi memunculkan kecemburuan dan kesedihan bagi yang lain. Ekspresikan dengan cara yang sewajarna dan lebih mempertimbangkan sentuhan empatik terhadap sesama.
Narasi di atas hanya contoh belaka. Banyak contoh lainnya tentang tenggang rasa. Tentu, disesuaikan dengan kondisi dan realitas yang membersamai hari-hari kita.
Sederhananya, tenggang rasa adalah menghargai perasaan orang lain. Islam mengatur hal ini dengan amat rapi dan mengena, seperti yang dijelaskan dalam sebuah hadis yang melarang dua orang berbisik dengan mengabaikan orang lain yang berada di dekatnya
“Idza kuntum tsalatsatan, la yatanaja itsnani duna shahibihima, fainna dzalika yahzunuhu—jika kalian sedang bertiga, janganlah dua orang di antara kalian saling berbisik, tanpa mengajak berbisik teman ketiga, karena hal itu dapat membuatnya sedih,” sabda Nabi Saw. dalam sebuah hadis shahih.
Perkara berbisik—yang membuat orang lain merasa tak dihargai keberadaannya saja—tak diperbolehkan oleh Nabi, apalagi hal yang lebih dari sebatas berbisik. Termasuk uforia berlebihan saat menperoleh nikmat dari Allah.
Karenanya, saat mendapat kebahagiaan, boleh saja diluapkan sebagai ekspresi syukur, tetapi hargai pula perasaan orang lain. Ajak orang lain ikut menikmati kebahagiaan yang kita dapat, sebagaimana kita pernah mengajaknya ikut merasakan kesedihan yang kita terima. (KPN/Kiki Musthafa)