KABARPESANTREN.ID—Hari Rabu 28 desember 2022 adalah ke 40 hari kepulangan ulama besar dari tanah Sunda, pimpinan pondok pesantren Cipasung Singaparna Tasikmalaya KH. A. Bunyamin Ruhiat. Putra mahkota pendiri pondok pesantren Cipasung KH Ruhiat juga merupakan adik tercinta Ajengan santun, Rais ‘Aam NU 1994-1999 KH Mochammad Ilyas Ruhiat itu, dipenuhi dengan orang-orang yang berbondong-bondong dari berbagai daerah untuk turut berziarah dan mendo’akan beliau. Baik dari lapisan masyarakat, tokoh masyarakat, pejabat daerah, para kiai, santri, maupun alumni. Tercipta moment indah sekaligus haru, telaga manusia. Doa-doa melesat mengetuk pintu Arsy, bertaburanlah puing-puing berkah dan sejenak langit pun turut meneteskan air matanya.
Telaga manusia di pesantren Cipasung. Dihadiri khalayak banyak. Di dalam tiga lantai masjid, dua lantai madrasah, depan-belakang mesjid dan sekelilingnya, di halaman depan rumah Bapak, halaman depan, samping asrama selamet dan sampai jalan menuju asrama-asrama lain. Dua kali lipat lebih padat, lebih kerap. Atmosfir langka seperti ini melahirkan impresi yang menyentuh batin saya, sekaligus menegaskan bahwa beliau bukan hanya kiai, ulama, tapi sang pecinta kasih sayang. Cintanya beliau berikan kepada umat terkhusus para santri dengan ilmu, amaliyah dan keindahan akhlaknya, sehingga penduduk bumi dan langit mencintainya. Allah mencintainya. Maka Kiai Abun yang lebih akrab kami panggil “Bapak” dikategorisasikan manusia pilihan, kekasih Allah.
Bukan hanya beberapa saksi yang dapat dihitung dengan jari, tetapi sudah menyemat di dalam pikiran para santri, terlebih santri yang memiliki kedekatan khusus dengan beliau, bahwa beliau pecinta ilmu. Jiwa Bapak dengan ilmu telah menyatu. Keseharian Bapak begitu performatif dengan nilai-nilai islam. Dibuktikan dengan totalitas disiplin muthala’ah sebelum melangkahkan kedua kakinya untuk mengajar ngaji. Bahkan saat Bapak pulang dari suatu acara di luar kota, di perjalanan menuju Pesantren, Bapak menyempatkan waktu muthala’ah di dalam mobil. Tidak mungkin hal itu dilakukan dengan konsistensi yang mengurai panjangnya waktu, jika Bapak bukan orang yang luar biasa. Bukti kiai Abun manusia istiqamah.
Bapak konsisten mengajar, dari kitab Jurumiyyah dengan dikdat berbahsa Sunda khas pesantren Cipasung, Mutamimmah, Alluma’, Lathaiful Isyarah, Ta’lim Muta’allim, sampai kitab Alfiyyah dan Jam’ul Jawami. Dan di pengajian mingguan, yang diselenggarakan setiap hari Kamis pagi, yaitu kitab Ihya Ulumuddin, Jam’ul Jawami dan Tafsir Ahkam. Juga pada pengajian bulanan yang diselenggarakan setiap hari Rabu di minggu , yaitu kitab Hikam karya Imam Ibnu Aththaillah. Pada ngaji mingguan dan bulanan ini mayoritas pengkaji dan mustami’ dihadiri santri dan kiai, juga masyarakat dari luar. Rutinitas aktual cinta mengajar ngaji ini dimulai dari Bapak usia 19 tahun, meneruskan jejak langkah sang Ayah KH Ruhiat. Memperjuangkan agama, lii’lai kalimatillah dan merupakan bagian implementasi dari “toriqah Cipasung mah ngaji”.
Ajengan Abun putra ke-9 Abah Ruhiat dan Ibu Siti Aisyah yang lahir pada 28 September 1949 itu, bagi kami adalah kiai yang profesional. Bapak yang cerdas dapat bersikap tegas, lembut dan perfeksionis. Pintar ngegas dan ngerem. Tapi Bapak juga kiai yang humoris, ramah, dan someah ( murah senyum ). Cerita humor dan jokes yang Bapak lontarkan saat bercengkrama dengan santri, mengingatkan kami dengan Gus Dur dan kultur khas kiai NU lainnya.
Bapak menyukai kebersihan dan kerapihan. Bapak waro, apik dan teliti dalam apa pun. Mengingat hadis Kanjeng Nabi, “Annadzofatu minal iman”—amal keseharian beliaulah yang berbicara. Manifestasi dari nilai-nilai keimanan. Saya menangkap ilmu, “Kita harus mandi, meskipun akan berkeringat dan kotor lagi”. Begitu pun sikap Bapak dalam sehari-hari. “Kedah beberes, kedah bersih—harus beres, harus bersih,” pesan beliau.
Selanjutnya Bapak adalah sosok pemulia tamu dan pencinta shalawat. Memuliakan tamu. Mutlak. Selalu. Siapapun dan kapanpun. Bapak selalu nyuguhan semah, ngabageakeun semah dan ngabungahkeun semah. Sebelum acara Peringatan Hari Santri 22 Oktober 2022 kemarin, saya menuai pengalaman bersama Bapak. Latihan vokal bersama tim shalawat. Di rumah kediaman Bapak. Masya Allah, setiap kami di sana, selalu dihidangkan dengan aneka ragam makanan yang enak. Kerap kali kami diperlakukan dengan sangat baik oleh Bapak. Auranya tenang, ranum, teduh dan memabukkan jiwa. Apa yang disampaikan Allah dalam memuliakan tamu, “Falyukrim Dhaifahu” telah jauh beliau amalkan. Kepada siapapun tanpa pandang bulu.
Di usianya sang semakin senja, ba’da Isya mungkin waktu yang tepat untuk istirahat. Tapi semangat beliau mengalahkan semangat kami yang muda pada saat membaca shalawat. Kami diperhatikan, disimak dengan seksama, digembleng Bapak hingga larut malam. Kami masih lekat dengan pesan “Munfarijah, syifa dan fatih”. Suatun sejarah bagi kami, Bapak menampilkan shalawat lebih dari 30 menit di atas panggung. Padahal biasanya setelah pembacaan ayat suci Al-Quran, shalawat dibacakan dengan waktu yang tak lama. Untuk pertama kalinya, kami terheran-heran.
Bapak dengan cinta ilmunya, cinta kebersihan, wara’ dan cinta shalawat, belum cukupkah menjadi ciri kekasih-Nya? Mengingat telaga tangis manusia di hari kepergian Bapak, Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata:
ولدتك أمك يابن أدم باكيا # والناس حولك يضحكون سرورا
فاعمل ليومك أن تكون إذا بكوا # في يوم موتك ضاحكا مسرورا
Kamu menangis saat dilahirkan, dan orang-orang di sekitarmu tertawa bahagia. Berupayalah dalam hidupmu agar orang-orang menangis di hari kematianmu sedangkan kamu tertawa bahagia
Orang-orang dari berbagai penjuru daerah, tak menghiraukan jarak dan waktu, berdatangan memenuhi bumi Cipasung. Mereka berziarah, doa-doa dipanjatkan, melesat menggetarkan langit bumi dan seisinya. Pipi-pipi tak ada yang kering. Bumi membasah dihujani tangis ribuan manusia. Manusia-manusia menangis, sedang bapak tersenyum dan tertawa karena telah usai menuntaskan perjuangan tugasnya di dunia. Sebagai pejuang agama. Pejuang pesantren. Kami benar-benar merasakan kehilangan mutiara besar. Kami kehilangan laut untuk bermuara. Kami kehilangan pohon jiwa untuk berteduh. Bapak bukan hanya ulama kharismatik ia adalah manusia indah. Bapak bukan kiai biasa, kepergiannya dapat menciptakan bumi dibasangi ribuan tangis. Dan kepergiannya menciptakan telaga manusia.
Pak, bolehkah kami berteduh di bawah pohon jiwamu ? Untuk menemukan dan menikmati semilir hakikat. Di bawah rindangnya dzikir dan shalawat, menikmati buah hikmahmu yang segar, ranum dan memabukkan. Pak, bolehkah kami menetap di balik pejaman matamu ? Menikmati segarnya mata airmu yang tak pernah berhenti jatuh. Akan ku bawa pulang dan kusimpan di kemaraunya mataku. Ilahadroti syaikhuna almarhum almagfurlah KH. A. Bunyamin Ruhiat Alfatihah. (KPN/WS Nurmugni)