KABARPESANTREN.ID—Ledakan kasus HW di Cibiru Bandung menyisakan polemik yang alot di media sosial juga di beberapa WA grup. Sesekali menggelikan. Sesekali pula menjadi tampak amat serius.
Pasalnya, lembaga tempat HW melancarkan aksinya di-framing sebagian pihak sebagai pesantren. Disangkal oleh pihak lainnya bahwa itu hanyalah boarding school. Ada kekhawatiran akan derasnya stigmatisasi buruk tentang pesantren.
Terlepas dari perdebatan itu. Sebuah lembaga layak dinamakan pesantren apabila di dalamnya terdapat aktivitas mengaji. Tentu, yang dimaksud adalah mengaji kitab kuning. Warisan luhur ulama-ulama terdahulu.
Karenanya, dalam konteks ini, dikotomi pesantren salafiyah (tradisional) dan modern, baiknya dihilangkan. Tidak relevan dan seakan mengaburkan sejarah dan karakteristik pesantren itu sendiri.
Ada anggapan bahwa yang masih membaca kitab kuning adalah pesanten salafiyah. Lalu, yang metode pembelajarannya beralih ke media lain adalah pesantren modern.
Berpulang pada sejarah dan kekhasan pesantren dari masa ke masa, mengaji adalah akar. Tanpa mengaji, pesantren berpotensi runtuh. Tak ada saripati tanah yang bisa menumbuhkan ranting, menghijaukan daun dan memunculkan buah.
Kini, pesantren harus fleksibel. Terbuka pada perubahan yang pesat. Tak jadi soal dengan infrastruktur dan bangunan fisik. Hal tersebut bukan indikator utama sebuah pesantren layak diperhitungkan keberadaannya.
Tersebab itulah, tidak tepat, beratasnama modernisasi, tetapi aspek autentisitas pesantren dihilangkan dan akarnya dicabut. Tradisi mengaji kitab kuningnya menjadi samar dan bahkan lenyap.
Akan tetapi, tidaklah pula tepat, beratasnama menjaga autentisitas pesantren, tetapi kemudian tertutup pada aspek modernitas. Mengaji kitab kuning tetap dipertahankan, adanya mekanisme dan teknis pengajaran yang baru tetap diaplikasikan.
Digitalisasi mengaji kitab kuning adalah jawaban. Perlahan dan pasti, aktivitas manusia akan bermigrasi pada dunia digital yang tak terbatas. Pesantren harus mengavling lahan sedari dini. Agar mengaji tetap hidup dan mengabadi.
Akhirnya, berstatus pesantren salafiyah ataukah modern, tak jadi soal. Hanya saja, karakteristik dan autentisitasnya harus terjaga. Alasannya sederhana: Tanpa mengaji, pesantren berpotensi mati.[]