KABARPESANTREN.ID—Setiap orang memiliki standar bahagia yang beragam. Artinya, satu orang dengan yang lain, memiliki standar yang berbeda. Sekalipun indikatornya tetap identik, yakni sesuatu yang menyenangkan. Hanya saja, sesuatu yang menyenangkan tersebut pun tak bisa dipukul rata. Banyak faktor yang melatarbekanginya, di antaranya, faktor ekonomi, norma, kehidupan sosial dan pengaruh geografis.
Pertama, disebabkan oleh faktor ekonomi. Jika kebahagiaan bisa ditakar dari sebanyak apa seseorang memiliki uang, faktor inilah salah satu jawabannya. Semisal, strandar bahagia orang miskin cukup dengan uang 1 juta saja sudah menjadi sesuatu yang amat menyenangkan. Lain hal dengan orang kaya, 1 juta hanya cukup untuk sekali makan di restoran di tengah kota dan sesuatu yang biasa saja.
Tersebab itulah, jangan pernah meremehkan angka yang kecil. Bisa jadi, tidaklah berarti untuk kita, tetapi amatlah berharga bagi mereka. Karenanya, dalam Islam menghambur-hamburkan harta adalah bagian dari tabiat setan—orang yang menghambur-hamburkan harta disebut dengani ikhwan al-syayatin, kawannya setan. Daripada dihambur-hamburkan, lebih baik dinnfakkan dan disedekahkan.
Kedua, disebabkan oleh faktor norma. Sederhananya, norma adalah aturan yang disepakati bersama sebagai sesuatu hal yang baik dan tabu untuk dilanggar. Baik norma di masyarakat atau norma agama. Semisal, ada tradisi membagi makanan di awal bulan Muharram. Di satu sisi masyarakat sepakat bahwa itu adalah hal baik. Di sisi lain, agama menganjurkan sedekah. Dalam hal ini, berbagi menjadi sesuatu yang membahagiakan.
Hakikat dari berbagi bukan hanya sekadar membahagiakan orang lain, tetapi pula memupuk rasa bahagia untuk diri sendiri. Selebihnya, adalah sebagai bentuk investasi kebahagiaan. Faktanya, semakin berusaha membuat orang lain bahagia, senyata, kita sedang menabung untuk terbahagiakan di suatu saat. Standarnya berbeda-beda. Ada yang bahagia memberi semampunya, tetapi ikhlas. Ada yang bahagia memberi banyak, juga lebih ikhlas.
Ketiga, disebabkan oleh faktor geografis, yakni tempat dimana kita tinggal. Dalam konteks lebih umum, terhubung dengan lingkungan sosial dimana kita berada. Semisal, orang Tasik di pedesaan, sudah amat bahagia jika diberi uang 500 ribu untuk satu bulan. Masih bisa ditabung. Untuk lauk sehari-hari, masih bisa mengambil sayuran di kebun. Sementara, bagi mereka yang tinggal di pusat kota, uang 500 ribu untuk satu bulan, jelas tidak begitu menyenangkan.
Artinya, standar bahagia seseorang berbeba-beda. Namun, terselepas dari standar yang berbeda tersebut, jika tanpa disertai rasa syukur, semuanya menjadi berantakan. Mereka yang tinggal di desa, bisa tidak bahagia jika diberi uang 1 milyar, andai tanpa bersyukur. Uang tersebut akan membuat hari-harinya sulit. Tidak berkah. Sementara mereka yang tinggal di kota, tetap merasa bahagia andai hanya memilili 100 ribu saja, tetapi selalu bersyukur. Berkah dan manfaat.
Terlepas dari semua itu. Standar bahagia yang paling menentukan adalah memiliki rasa syukur. Berterima kasih kepada Allah. Sedikit ataukah banyak, hanyalah bicara kuantitas belaka. Jika disyukuri, yang sedikit akan terasa cukup dan banyak, menyenangkan dan membahagiakan. Jika ternyata tidak disyukuri, yang banyak akan terasa sedikit dan kurang, menyiksa dan menggelisahkan. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. (KPN/Kiki Musthafa)