KABARPESANTREN.ID—Mereka yang merdeka adalah mereka yang mampu menerima segala keadaan. Menerima dengan hati paling lapang. Semua yang Allah titipkan. Segala yang Allah takdirkan. Tak terkecuali. Banyak ataukah sedikit. Mudah ataukah sulit. Senang ataukah tidak. Diterimanya dengan penuh rasa syukur. Tak ada beban yang mengikat. Tak pula sedih yang menjerat. Terbebas dari rasa sulit. Selalu terbahagiakan dalam merespon segala kemungkinan.
Abu Yazid al-Busthami menjelaskan kriteria orang yang merdeka. Baginya seorang yang merdeka adalah mereka yang zuhud terhadap semua urusan dunia. Zuhud dalam konteks melepaskan semua beban dan jerat duniawi. Jika dapat alhamdulillah. Jika pun lepas, tetap berusaha dan memperbaiki diri. Formulasi demikianlah yang disinggung al-Busthami dan dirasa tepat untuk membentuk karakteristik manusia merdeka hari ini.
“Wahai Abu Yazid, bagaimanakah zuhud itu menurutmu?” tanya seseorang kepada Abu Yazid al-Busthami suatu saat. Pertanyaan yang tidak mudah karena membicarakan kehidupan kehidupan dunia selalu berlawanan dengan kehendak banyak orang. Banyak yang terbuai karena dunia. Banyak yang terobsesi pada dunia. Al-Busthami amat hati-hati menjawab pertanyaan demikian. Ia ingin jawabannya mudah dipahami dan gampang ditafsirkan.
“Idza wajadna akalna, wa idza faqidna shabarna,” jawab Abu Yazid al-Busthami. Ia menganalogikan makan dan sabar. Katanya, jika ia menemukan makanan maka ia akan makan. Namun, jika ternyata tidak, ia akan bersabar. Analogi yang dapat digeneralisir pada banyak problem kehidupan yang dihadapi banyak orang: Makanan. Al-Busthami paham. Makan adalah masalah pelik yang terus diselesaikan banyak setiap harinya.
Salah satu yang mendorong seseorang bekerja dan melakukan banyak hal terkait dengan pekerjaan tersebut adalah karena harus makan. Dalam terminologi zuhud yang diangkat Abu Yazid al-Busthami, makan adalah representasi dari semua ambisi duniawi. Apa pun itu. Hal-hal materialistik yang tak henti dikejar dan diburu. Tersebab dibutuhkan untuk bertahan hidup atau hanya sebatas memuaskan duniawi yang menggebu-gebu di dalam dada.
Tentang segala hal. Andai didapatkan, bisa dimaksimalkan untuk melahirkan kebaikan baru. Seandainya tidak dapat, bersabar untuk kemudian mengevaluasi dan melanjutkan langkah yang lebih bermanfaat lagi. Tak ada beban yang menumbuk karena gagal. Tak pula ada uforia yang menumpuk karena berhasil. Semua berjalan dengan hati yang merdeka. Terbebas dari rasa kecewa saat jatuh. Terjauh dari rasa pongah dan sombong saat tepuk tangan kesuksesan terdengar bergemuruh.
Mereka yang zuhud pada urusan dunia adalah mereka yang benar-benar bisa merasakan hakikat merdeka. Tidak sedang tertekan oleh cicilan ribawi yang mencekik akal sehat. Tidak sedang terbebani oleh gaya hidup konsumeristik yang menuntutnya hal membeli barang-barang baru padahal tidak benar-benar dibutuhkan. Tidak terbuai oleh angan-angan tanpa doa dan kerja keras. Tidak tertipu oleh ambisi sesaat dan rugi berkepanjangan. Merdeka lahir dan batinnya.
Peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-77 tempo hari, harus menjadi momentum. Bahwa terbebas dari penjajajah sejak tahun 1945, tidak cukup andai hari ini kita tidak bebas mengespresikan diri dalam mengekspolari semua kebaikan dan kebermanfaatan. Syaratnya, bebaskan diri sendiri terlebih dahulu dari beragam ambisi yang nihil, lalu bantu sesama untuk bersama-sama merdeka dan bahagia. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. (KPN/Kiki Musthafa)