KABARPESANTREN.ID—Sebuah hadis mengonfirmasi perihal orang-orang yang terbebas dari urusan agamanya dan harga dirinya. Terbebas di sana merujuk pada selamat urusan agamanya. Tanpa ada hal-hal yang membuatnya celaka dan amalan baiknya menjadi tertolak. Setiap detail kewajiban yang terhubung dengan perintah agamanya, terpenuhi dengan baik. Sementara, terbebas dari urusan harga dirinya, merujuk pada terjaga dari hal-hal yang menghinakannya di hadapan Allah juga manusia. Orang-orang tersebut adalah mereka yang tidak pernah bersentuhan dari harta syubhat— apalagi haram.
“Al-halalu bayyinun, wal haramu bayyinun, wa bainahuma musyabbihatun la ya’lamuha katsirun minan-nasi. Famanit-taqa al-musyabbihati istabra`a lidinihi wa ‘irdlihi…” sabda Rasulullah Saw tentang orang-orang yang membebaskan urusan agamanya dan harga dirinya tersebab menjaga diri dari harta syubhat. Rasul menyampaikan, “Halal itu jelas dan haram pun jelas. Di antara keduanya adalah syubhat yang tidak banyak manusia mengetahui hal itu. Karenanya, barang siapa menjaga diri dari harta syubhat, ia membebaskan urusan agamanya dan harga dirinya.”
Halal dan haram memiliki indikator yang jelas. Sesuatu yang diharamkan oleh Allah, setidaknya, terdapat pada dua hal. Pertama, ada nash Al-Quran atau hadis Rasulullah Saw yang menjelaskan secara langsung perihal keharamannya. Termasuk pula ijtihad ulama mazhab yang memberikan tafsir dan penjelasan lebih lanjut perihal apa yang disampaikan Allah dalam Al-Quran dan apa yang disabdakan Rasul dalam hadis-hadisnya. Indikatornya jelas dan pasti. Tidak ada perdebatan yang layak disampaikan.
Kedua, didapat dengan cara yang haram. Sesuatu yang didapat dengan cara yang haram, sekalipun hukum asal, status, dari harta tersebut adalah halal, tetap ujungnya berhukumkan haram. Cara yang haram adalah cara yang tidak legal secara hukum. Menyimpang dari aturan-aturan Syara’. Didapat dengan cara mencuri, menipu, merampok dan lain hal. Diperoleh dengan cara merampas hak orang lain. Dimiliki dengan cara yang zalim dan tentu saja menyakiti pihak lain. Harta yang dimiliki dengan cara seperti itu, hukumnya haram.
Sementara itu, perihal harta halal, jelas pula indikatornya. Di luar hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Harta yang tidak masuk dalam catatan berstatus haram yang disampaikan dalam Al-Quran dan hadis-hadis Rasul. Tidak didapat dari mengambil yang bukan haknya. Tidak dengan cara yang zalim dan nista. Di luar ketentuan-ketentuan yang merujuk pada status haramnya harta yang kita peroleh—baik haram asalnya atau haram karena cara memperolehnya—sudah tentu adalah harta yang halal.
Halal dan haram, jelas indikatornya. Sementara itu, di antara keduanya, adalah harta syubhat, inilah yang belum jelas. Tersebab itulah, Rasulullah Saw menggarisbawahi harta syubhat dengan la ya’lamuha minan-nasi—tak banyak manusia mengetahui tentangnya. Jika melihat indikator halal dan haram yang pasti, indikator syubhat tidak lagi berada pada objek harta itu sendiri, tetapi lebih banyak pada respon manusia terhadap harta yang status halal-haramnya masih abu-abu. Enggan menyakini haram karena diam-diam memiliki hasrat ingin memiliki, lalu mencari legitimasi kehalalannya.
Fakta dan bisa jadi salah satu pelakunya adalah kita. Saat berhadapan dengan harta yang status haramnya belum jelas dan indikatornya masih samar. Karena terdorong oleh hasrat ingin menguasai harta tersebut, lalu berargumentasi dengan berdalih belum jelas haramnya, ambil saja. Argumentasi demikian, jelas keliru. Justru karena belum jelas indikator haramnya, lebih baik dihindari. Lupakan dan perjuangkan yang sudah jelas indikator halalnya. Jika memaksa, lam yaslim liqauli man yath’anu fihi—tidak akan bisa selamat dari respon buruk orang lain karena ketidakhati-hatian kita menghadapi harta syubhat.
Seseorang yang terbiasa memakan harta syubhat, ia akan menjadi bahan gunjingan dan hinaan. Semua stigma negatif tentangnya akan tertanam di kepala banyak orang. Harga dirinya hancur dan remuk. Urusan agamanya jelas runtuh. Ia mengedepankan hawa nafsu perihal kepemilikan harta yang belum jelas indikator halal-haramnya, dengan mengesampingkan bersikap hati-hati dan wara’. Rakus, serakah dan padanan kata lainnya yang tepat untuk orang yang berhasrat menguasai banyak harta dengan menghalalkan banyak cara.
Frasa istabra`a lidinihi wa ‘irdlihi—orang-orang yang membebaskan, menyelamatkan, urusan agama dan harga dirinya—dirasa tepat dengan salah satu indikator manusia merdeka. Karenanya, pejabat yang korup itu belum merdeka. Harta halal dikuasai semua. Harta haram diembat tanpa sisa. Harta syubhat disikat pula. Hisabnya berat. Jauh dari istabra`a lidinihi. Harga dirinya jelas ambruk. Hina di pandangan manusia. Hina pula di hadapan Allah. Yang rakus dan rebutan dana bansos? Hati-hati. Jika caranya zalim, bukan lagi syubhat, tetapi haram. Merdeka! Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. (KPN/Kiki Musthafa)
*Dimuat ulang dari tulisan H. Kiki Syukri Musthafa, M.Ag. di Buletin Masjid Agung Kota Tasikmalaya (18/08/2023)