KABARPESANTREN.ID—Manusia bermental curang tak punya sedikit pun niat untuk melakukan hal baik. Sekalipun yang sedang diupayakannya adalah kebaikan, tetap saja, keburukan terlebih dahulu bersemayam kuat dalam dirinya. Fokusnya terserap agar dapat mencapai hal apa pun yang ingin diraihnya, tetapi dengan mempersilakan cara-cara tidak fair dalam melangsungkan prosesnya. Asalkan dapat, tak peduli orang lain tersikut, langsung sikat.
Tentu, mental curang adalah warisan dari setan. Salah satu pemantiknya adalah hasud dan tidak terima pihak lain melampaui pencapaian dirinya. Fakta ini logis. Lihat saja bagaimana dahulu Qabil membunuh Habil saat berebut Iklima. Setan menjadikan Qabil manusia hasud dan tentu juga curang. Qabil dibisiki setan untuk mengambil jalan pintas karena tidak berhasil mendapatkan Iklima. Akhirnya, terbunuhlah Habil pada insiden pembunuhan pertama umat manusia.
Dalam salah satu hadis shahih di Fath al-Bari tersampaikan bahwa indikator sempurnanya keimanan seseorang tercermin dari rasa cinta seseorang terhadap saudaranya seperti ia mencintai dirinya. Hal ini, disampaikan Rasulullah Saw melalui matan hadis: La yu`minu ahadukum hatta yuhibba li`akhihi ma yuhibbu linafsihi. Logikanya, bagaimana mungkin manusia bermental curang dapat mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya?
Melalui frasa yuhibbu li akhihi—dalam hadis di atas—perintah untuk berbuat baik dan tidak memberikan madarat kepada yang lain terbaca sempurna. Seseorang yang mencintai saudaranya, tak mungkin berbuat sesuatu hal yang buruk, apa pun alasannya. Sebaliknya, seseorang yang tak peduli kepada sesamanya—karena terbutakan oleh ambisi personal, semisal, ingin tampak hebat di hadapan publik—cenderung akan menghalalkan banyak cara untuk itu.
Curang. Untuk sampai pada iman yang sempurna, seseorang harus punya rasa empati terhadap sesama. Menjaga perasaannya untuk tidak tersakiti. Menjaga fisiknya untuk tidak terlukai. Menjaga harga dirinya untuk tidak terhinakan. Sayangnya, upaya-upaya demikian tidak mungkin lahir dari ucap dan sikap manusia dengan mental curang yang terlanjur mengakar dalam dirinya. Spirit yuhibbu li akhihi-nya runtuh oleh hawa nafsu yang menggebu-gebu di dasar dadanya.
Apalagi, untuk sampai pada frasa selanjutnya: Ma yuhibbu linafsihi—mencintai sesamanya seperti ia mencintai dirinya. Mustahil. Bagaimana mungkin manusia bermental curang bisa mencintai orang lain seperti mencintai dirinya sendiri? Mencintai orang lain saja gagal karena ucap dan sikapnya dipenuhi dengan perkara zalim: Berbohong, mempermainkan, mengelabui, merendahkan orang lain dst. Apalagi, mencintai orang lain seperti mencintai dirinya sendiri.
Sulit. Boro-boro mencintai orang lain. Apalagi seperti mencintai diri sendiri. Mencintai dirinya sendiri saja gagal. Pada hakikatnya, manusia bermental curang sedang berbuat zalim pada dirinya sendiri. Ia menghinakan dirinya sendiri dengan berusaha berbuat jahat terhadap sesamanya. Logikanya, hal baik akan kembali baik kepada yang melakukannya. Hal buruk akan berpulang buruk kepada yang melahirkannya. Curang terhadap orang lain, sama hal zalim terhadap diri sendiri.
Akhirnya, jangan curang. Dalam hal apa pun. Amat tersakiti Rasulullah Saw yang menginginkan kita adil dan baik terhadap sesama, jika ternyata, kita tumbuh menjadi manusia bermental curang dan mengkhianati hadis Rasul termaksud. Biasa sajalah. Jika ternyata kita terlalu berambisi memperoleh dan mendapatkan sesuatu hal, jalani dengan niat yang bagus, ikhtiar yang terpuji dan doa yang tak putus. Bukan dengan berbuat curang! Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.[]
*Dimuat dalam edisi cetak di Buletin Masjid Agung Kota Tasikmalaya (20/05/2022).